17 September 2008

REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN HUTAN KEMASYARAKATAN

Oleh :
Aswandi

Kondisi sumberdaya hutan dan lahan di Indonesia saat ini telah mengalami kerusakan yang serius. Akibat pengelolaan yang tidak tepat, lahan kritis meningkat setiap tahunnya hingga saat ini telah mencapai luas 43 juta ha, dengan laju deforestasi lebih dari 1,6 juta ha/tahun. Bahkan Walhi mencatat laju kerusakan hutan yang lebih besar yakni 3,8 juta ha/tahun atau 7,2 ha untuk setiap menitnya. Kerusakan hutan dan lahan tersebut telah mengakibatkan banjir, tanah longsor dan kekeringan yang telah menimbulkan bencana nasional.

Berbagai upaya untuk menangani lahan kritis ini telah dilakukan oleh pemerintah sejak lama, antara lain melalui program reboisasi dan penghijauan. Akan tetapi keberhasilan fisik dari kegiatan reboisasi dan penghijauan tersebut relatif rendah yakni sekitar 68% dan 21 %, belum lagi jika yang menjadi tolak ukur penilaian adalah kualitas lahan yang telah direhabilitasi, tentu akan lebih rendah lagi.

Hal ini kemungkinan dapat disebabkan karena kurang tepatnya teknologi yang diterapkan seperti pemilihan jenis atau teknik rehabilitas, kondisi lahan yang ekstrim, serta kesenjangan antara kepedulian pemerintah dan masyarakat terhadap masalah ini dengan tindakan nyata untuk mengatasinya dimana terdapat kecenderungan kegiatan ini dikerjakan hanya dalam kerangka keproyekan atau bersifat seremonial saja. Upaya pemerintah untuk mengatasi degradasi lingkungan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan juga mendapat kritikan keras dari berbagai kalangan terutama terkait dengan dana trilyunan rupiah yang dibutuhkan.
Sesungguhnya meluasnya lahan kritis tidak dapat dilepaskan persoalan yang terjadi dalam masyarakat seperti tekanan yang tinggi akan kebutuhan lahan, perladangan berpindah, penggembalaan yang berlebihan, pembakaran yang tidak terkendali, dan illegal logging sehingga pemecahannya juga tidak dapat dilepaskan dari pemecahan pemecahan yang dihadapi masyarakat itu tersebut.

Oleh karena itu strategi penanganan lahan kritis perlu diubah melalui pendekatan holistik dengan fokus sumberdaya berbasiskan masyarakat. Karena penanganan tanah kritis tersebut berhubungan erat dengan masalah kemiskinan, kesempatan kerja yang terbatas dan lingkungan yang terdegradasi, maka selain penyiapan fisik areal yang akan direhabilitasi juga diperlukan kajian kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat. Hal pertama yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah pemetaan sosial budaya tentang kekuatan sumberdaya dan kearifan tradisional yang ada dalam masyarakat.

Berdasarkan pendekatan hal ini, upaya peningkatan produktivitas lahan kritis hanya akan dapat berhasil apabila masyarakat dilibatkan sebagai aktor utama serta mereka memperoleh peningkatan kesejahteraan dari kegiatan tersebut. Tanpa hal ini, program rehabilitasi lahan yang dicanangkan diramalkan tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Tanpa pelibatan masyarakat, siapa yang akan memelihara tanaman yang telah ditanam? Akan mustahil rasanya masyarakat yang miskin secara sukarela meluangkan waktunya untuk sesuatu yang tidak memberikan peningkatan kesejahteraan langsung bagi mereka.

Karena masyarakat merupakan aktor utama kegiatan, maka mereka harus diikutsertakan dari setiap tahapan kegiatan, mulai dari tahap perencanaan hingga implementasinya. Syukur-syukur kesadaran tentang pentingnya kegiatan rehabilitasi lahan kritis tersebut tumbuh diri masyarakat sendiri sehingga kepedulian untuk memelihara tanaman yang telah ditanam tetap tinggi.

Sesungguhnya pengikutsertaan masyarakat dalam kegiatan serupa telah lama dan banyak dilaksanakan, namun keikutsertaan tersebut cenderung sebagai objek atau hanya sebagai pekerja proyek di lapangan. Masyarakat tidak diikutsertakan dalam setiap tahapan sehingga kesadaran untuk tetap memelihara tanamannya setelah kegiatan penanaman berlangsung tidak tumbuh. Apalagi cerita akan terbangunnya kelembagaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan tersebut, sangat jauh dari harapan.

Sudah banyak cerita tentang kegagalan program rehabilitasi akibat tidak diikutsertakan masyarakat dalam kegiatan perencanaannya. Contoh terkini adalah pengadaan bibit durian sebagai pohon multiguna yang akan ditanam pada salah satu lahan kritis di dataran tinggi di Sumatera. Tetapi bibit tersebut menjadi sia-sia karena masyarakat tidak berkenan menanamnya dan ironisnya masyarakat tersebut mengetahui bahwa jenis tersebut tidak cocok ditanam di dataran tinggi. Hal ini menunjukkan lemahnya perencanaan dan kurangnya iptek yang dimiliki oleh perencana kegiatan tersebut.

Sesungguhnya banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan tetapi salah satu yang cukup dikenal adalah sistem hutan kemasyarakatan. Pembangunan hutan kemasyarakatan didasarkan pada filosofi bahwa masyarakat tidak sekedar diberikan alternatif untuk tidak merusak hutan, melainkan diarahkan pada pemberian kesempatan dan kepercayaan untuk memanfaatkan sumberdaya hutan terutama hasil hutan non kayu sehingga tercipta interaksi positif antara masyarakat dan hutan melalui pengelolaan partisipatif.

Salah satu kegiatan dalam hutan kemasyarakatan yang dapat digunakan untuk rehabilitasi lahan adalah agroforestry (wana tani). Terdapat berbagai pola agrofrestry yang dapat digunakan misalnya pola agrosilvopastural. Pola ini memadukan penanaman tanaman pertanian musiman, kehutanan, dan sumber pakan ternak sehingga cocok untuk digunakan untuk rehabilitasi lahan akibat pengembalaan yang berlebihan (over grazing). Pola lainnya adalah silvofishery yang menggabungkan kegiatan penanaman kehutanan dan perikanan sehingga pola ini dapat digunakan untuk merehabilitasi lahan mangrove misalnya.

Selain dua diatas masih terdapat pola-pola agroforestry lainnya, tetapi satu hal yang sama adalah bahwa penanaman pohon dilakukan bersamaan dengan berbagai jenis tanaman pertanian. Berbagai praktek agroforestry menunjukkan bahwa sistem ini memberikan dampak ganda berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat di satu sisi dan peningkatan produktivitas lahan dan kelestarian hutan disisi lain. Selain memperoleh kesejahteraan dari tanaman pertanian semusim yang ditanam di antara tanaman kehutanan, teknik ini memberikan pengaruh positif terhadap produktivitas tanah berupa meningkatnya ketersediaan unsur hara dan bahan organik serta menekan laju erosi tanah.

Satu hal yang sering luput dari perhatian adalah kesesuaian jenih tanaman yang akan ditanam dengan lokasi yang akan direhabilitasi. Seharusnya pemilihan jenis tanaman tidak boleh dilepaskan dari faktor penyebab dari timbulnya degradasi lahan itu sendiri. Misalnya, karena pengembalaan liar dan kebakaran hutan merupakan faktor utama penyebab degradasi lahan di suatu daerah maka jenis yang dipilih sebaiknya harus tahan terhadap kebakaran berulang dan kekeringan, serta dapat dijadikan pakan ternak. Akan lebih menarik masyarakat jika jenis yang dipilih telah dikenal masyarakat baik kesesuaian dengan tempat tumbuh atau memiliki prospek ekonomi yang baik, tanaman gaharu misalnya. Satu hal lagi yang tidak boleh luput dari perhatian adalah hak atau status akan lahan karena sistem agroforestry merupakan sistem yang permanen dan memiliki rotasi atau masa waktu yang lama maka hak atas sumberdaya yang tumbuh pada lahan tersebut harus jelas aturan mainnya.

Diharapkan peningkatan kesejahteraan dari kegiatan hutan kemasyarakat ini dalam jangka panjang akan mengurangi tekanan masyarakat terhadap sumber hutan dalam bentuk illegal logging dan perambahan lahan bahkan masyarakat secara sadar akan mempertahankan setiap jengkal hutan dari kerusakan, apapun penyebabnya***

Tidak ada komentar: