Oleh : Ahmad Suryadin, Aswandi dan Cut Rizlani Kholibrina Selama beberapa tahun terakhir, berbagai media cetak dan elektronik nasional melaporkan peristiwa banjir besar yang menggenangi dan menghancurkan beberapa kabupaten di NAD dan Sumatera Utara. Ketika banjir bandang menghancurkan kawasan Langkat Sumatera Utara, meluapnya Sungai Tamiang yang membawa ribuan kubik kayu dan pepohonan yang tercerabut di Aceh Tamiang, banjir bandang di Meukek Aceh Selatan dan banyak peristiwa banjir lainnya yang menewaskan ratusan warga yang tak berdosa serta kerugian finansial dan moril yang sangat besar, bangsa ini hanya bisa menyatakan prihatin, sedih, kasihan, lalu menyatakan belasungkawa. Namun, serangkaian peristiwa bencana alam yang terjadi berulang-ulang setiap musim hujan tak pernah menjadi pelajaran untuk berupaya memperbaiki kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab utama timbulnya bencana itu. Hingga kini tidak ada upaya mencegah atau memperbaiki kerusakan kawasan hutan di atasnya yang sudah jelas merupakan penyebab utama bencana itu. Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan ekosistem penyangga hampir di sebagian besar NAD dan sebagian Sumatera Utara sudah lama dirusak. Diyakini, banjir bandang itu terjadi akibat maraknya penebangan liar dan perambahan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang telah merubah penutupan kawasan ini hingga mencapai 42.000 hektar. Kerusakan KEL Kawasan Ekosistem Leuser merupakan paru-paru dunia dan merupakan hulu beberapa daerah aliran sungai yang berfungsi sebagai penyimpan air di NAD dan Sumatera Utara. Hutan Leuser juga menyediakan tempat-tempat resapan air berbentuk hutan gambut dan rawa-rawa seperti Rawa Singkil-Trumon, Rawa Kluet, dan Rawa Tripa sebagai tempat penampungan air sebelum dialirkan ke sungai dan membentuk daerah tangkapan air. Namun penebangan baik legal maupun ilegal pada kawasan ini mengakibatkan perubahan penutupan vegetasi, kerusakan habitat dan tidak berfungsinya jasa-jasa lingkungan lainnya. Jika tahun 1985 yang rusak masih 229.570,27 hektar dan yang tidak lagi berupa hutan atau gundul 27.410,54 hektar dari 2.570.652,78 hektar luas seluruh hutan KEL, di tahun 2000 yang rusak sudah mencapai 653.482,17 hektar dan yang gundul 262.564,67 hektar. Terdapat dua bentuk penebangan liar yang terjadi di kawasan ini. Pertama dan yang paling merusak serta memusnahkan keanekaragaman hayati adalah kegiatan konversi hutan, terutama menjadi areal perkebunan kelapa sawit dan pemanfaatan lahan lainnya di luar kehutanan. Sekalipun ilegal, sering kali konversi diakui sebagai kegiatan yang sah sehingga dilakukan secara terangterangan. Skenario yang terjadi biasanya dengan dasar surat permohonan (selain dari insentif finansial) perusahaan menebang hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Penurunan penutupan vegetasi pada ekosistem ini mengakibatkan rusaknya kemampuan penyerapan air tanah oleh pohon hutan sehingga curah hujan tidak mampu diserap oleh tanah dan aliran air permukaan hanya berfungsi untuk mencuci hara yang ada di lapisan tanah bagian atas sehingga peristiwa banjir sangat mungkin terjadi. Hilangnya hutan yang merupakan habitat jutaan flora dan fauna mengakibatkan rantai makanan rusak sehingga mengakibatkan kepunahan spesies. Karena habitat alaminya terganggu, sebagian fauna besar seperti gajah dan harimau sumatera turun ke pemukiman masyarakat mencari mangsa. Tidak dapat dipungkiri telah terjadi perubahan penutupan lahan yang sangat serius pada kawasan lindung di NAD. Dengan luas ± 1,8 juta ha atau 39,27% luas daerah NAD (bahkan mencapai persentase > 80% pada beberapa kabupaten seperti Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Tenggara), gangguan terhadap kawasan lindung ini telah mengganggu fungsi kawasan sebagai sistem penyangga kehidupan seperti pelindungan erosi dan banjir, sumber air dan udara bersih, dan sumber sandang dan pangan di NAD. Akan tetapi, berapa angka pasti laju kerusakan dan luas kawasan hutan yang rusak akibat penebangan liar dan perambahan belum diketahui dengan pasti akibat belum terlaksananya kegiatan inventarisasi hutan terutama pada tingkat kabupaten atau data dan informasinya tidak tersebar dengan baik. Rencana Kerja Rencana kerja penanganan dan pencegahan banjir di masa depan harus diarahkan pada pengelolaan DAS yang baik dengan mengurangi kerusakan hutan dan meningkatkan penutupan vegetasi melalui pengembangan program-program yang berdampak positif bagi pemberdayaan masyarakat. Keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan dengan jenis yang tepat (terutama memiliki akar tunjang dan serabut yang baik) dan pemberian motivasi kepada masyarakat untuk menanam tanaman perkebunan dan kehutanan yang potensial akan sangat menentukan upaya pemulihan DAS. Disahkannya UUPA yang bernuasan ’hijau’ dengan kewajiban pemerintah Aceh untuk menjaga kelestarian sumberdaya alamnya dan adanya larangan untuk mengeluarkan izin pengusahaan (penebangan) hutan pada Kawasan Ekosistem Leuser yang dipertegas oleh misi gubernur NAD yang baru terpilih untuk meninjau kembali Hak Pengelolaan Hutan dengan menciptakan sistem pengelolaan hutan berbasis masya-rakat yang lestari harus dijadikan tonggak penting bagi pengelolaan lingkungan hidup. Kita menyadari bahwa untuk menghentikan penebangan liar dibutuhkan pendekatan yang komprehensif mulai dari penegakan hukum, penataan pasar dan pemenuhan kebutuhan kayu dari alternatif usaha kehutanan yang lestari. Apabila selama ini kita mengandalkan Hak Pengusahaan Hutan (Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu) untuk memenuhi kebutuhan kayu yang terbukti tidak lestari dan tidak berpihak kepada masyarakat, tidak ada salahnya kita mulai menggali rezim-rezim pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). Tidak seperti HPH yang padat modal dan skala luas, PHBM dapat memiliki luasan yang kecil, padat karya berupa partisipasi aktif masyarakat yang tentu berpihak pada kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi PHBM menuntut sistem kelembagaan yang jelas terutama perangkat aturan hukum yang tegas, mekanisme pengawasan yang baik, birokrasi yang efisien serta tata niaga yang baik. Kita sadari bersama ketidakjelasan telah menjadi pangkal petaka kerusakan hutan selama ini. Apabila kita belajar dari pengalaman, pemberian hak-hak pengelolaan hutan skala kecil, izin pemanfaatan kayu (IPK) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah pada masa lalu telah mengakibatkan ketidaklestarian hutan. Perhatian terhadap pengembangan hutan tanaman baik pada hutan rakyat maupun hutan negara, serta pengembangan hasil hutan bukan kayu harus segera dimulai. Mengapa? Mulai tahun 2009 pemerintah akan menetapkan kebijakan penghentian penggunaan bahan baku kayu alam untuk industri pulp dan kertas serta soft landing produksi kayu dari hutan alam yang telah dimulai beberapa tahun terakhir. Selain hasil kayu, masyarakat juga dapat membudidayakan rotan, gaharu, pemanenan getah tusam (gondorukem), tanaman obat, kemenyan, lebah madu, sarang walet, dan lain-lain. Selain hasil hutan kayu dan bukan kayu, jasa lingkungan dapat digali sebagai sumber pembiayaan daerah. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism) melalui penjualan jasa karbon (carbon trade) dari kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan sesungguhnya memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Selain dapat menyerap karbon, kegiatan ini juga memberikan efek positif terhadap keanekaragaman hayati, stabilitas tanah, kualitas air dan udara, menciptakan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi lokal melalui pengembangan industri hasil hutan bukan kayu.**** Cut Rizlani Kholibrina, S.Hut, M.Si Staf Perencanaan pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Selatan |
25 September 2008
PELESTARIAN HUTAN DALAM UPAYA MENJAGA HABITAT DAN DAMPAK LINGKUNGAN DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar