16 September 2008

PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN PINUS TAPANULI DAN KERINCI

Oleh : Aswandi
Staf Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera

Apabila kita melewati kawasan hutan Aek Nauli sekitar 40 menit perjalanan darat dari Pematangsiantar menuju Parapat kita akan disuguhi deretan pohon-pohon pinus yang sangat indah yang memberi kesan seakan-akan kita tengah berada di kawasan bumi bagian utara. Akan tetapi tahukah kita bahwa pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) yang juga disebut tusam atau sulu dalam bahasa Batak (Sala – Gayo; Uyeum – Alas; Susugi – Minangkabau; Sigi – Kerinci) merupakan satu-satunya jenis pinus yang tumbuh alami di Indonesia bahkan di seluruh bumi bagian selatan. Di Indonesia pun jenis ini hanya tumbuh alami di Sumatera yakni di Aceh, Tapanuli dan Kerinci. Tidak banyak yang tahu bahwa deretan tusam yang kita lihat tersebut dan pada berbagai tempat di pinggir jalan lainnya bukan merupakan tusam asli Tapanuli tetapi merupakan tusam Aceh. Lalu dimana dapat kita jumpai tusam asli (strain) Tapanuli?

Tusam Tapanuli
Tusam sesungguhnya telah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat di Tapanuli dan Aceh. Batangnya dimanfaatkan masyarakat untuk tiang, balok dan papan. Di kalangan masyarakat Batak kayunya dianggap tahan lama dan tidak membusuk jika ditanam dalam tanah. Junghuhn, penemu tusam, mengemukakan bahwa kayu tusam digunakan masyarakat untuk penerangan (obor) karena kandungan getah (resin) yang terkandung pada kayu mengakibatkannya mudah menyala. Saat ini jenis yang juga dikenal dalam dunia perdagangan sebagai pinus Sumatra (Sumatran pine) ini dapat digunakan sebagai bahan baku pulp-kertas, kayu bangunan dan hasil bukan kayu berupa getah/gondorukem.

Dibandingkan tusam asli Aceh yang telah menyebar di seluruh Indonesia, populasi tusam asli Tapanuli hanya tersebar di daerah beberapa daerah di Tapanuli (Sipahutar, Dolok Tusam, Garoga, Sialogi, Dolok Saut, dan daerah-daerah di sekitarnya). Walaupun sejak pemerintahan kolonial Belanda tusam telah banyak ditanam di Sumatera dan Jawa untuk penghijauan dan reboisasi maupun hutan tanaman, tusam yang ditanam umumnya merupakan tusam asli Aceh. Keiding seorang peneliti dari Denmark mencatat bahwa hampir 90% tusam yang ditanam pada periode 1930 – 1970 merupakan tusam Aceh dan 10% sisanya tusam Tapanuli, sedangkan tusam Kerinci tidak diketahui. Dalam dunia akademisi, jika orang berbicara tentang tusam (pinus) maka yang dibicarakan tersebut kemungkinan besar adalah tusam Aceh.

Bagaimana kita membedakan tusam asli Tapanuli dengan tusam Aceh? Secara sekilas mungkin tidak terlihat perbedaan. Akan tetapi apabila kita cermati terlihat perbedaan yang cukup nyata dari warna daun, kulit batang, produktivitas getah, penampakan tekstur kayu, dan percabangan pohon. Tusam Tapanuli mempunyai batang yang relatif lurus, percabangan dan tajuk yang lebih ramping, kulit batang tipis dan tidak beralur, warna daun lebih muda dan rata-rata jumlah biji per kerucut buah yang lebih sedikit dibandingkan dengan tusam Aceh.

Produktivitas biji yang lebih rendah serta sulitnya menemukan tegakan induk akibat penyebarannya pada daerah-daerah dengan topografi yang sulit (umumnya pada kawasan lindung) mengakibatkan Belanda lebih memilih mengembangkan tusam Aceh. Produktivitas getah yang lebih banyak juga mendorong pemilihan tusam Aceh untuk kegiatan-kegiatan reboisasi dan pembangunan hutan tanaman untuk menghasilkan resin gondurukem. Akan tetapi bukan berarti bahwa tusam Tapanuli tidak memiliki kelebihan. Dengan serat yang lebih indah akibat relatif sedikitnya percabangan, batang yang lebih lurus, dan kandungan resin yang lebih sedikit, nilai ekonomis kayu pertukangan tusam Tapanuli lebih tinggi dibandingkan tusam Aceh. Pada saat ini nilai pasar kayu tusam Tapanuli dapat mencapai dua kali lipat dari tusam Aceh. Selain untuk kayu pertukangan, tusam juga dimanfaatkan untuk bahan baku pulp, salah satunya pada industri kertas kraft di Aceh.

Ancaman
Akan tetapi nilai ekonomi kayu tusam Tapanuli yang lebih tinggi selain menjadi kelebihan tetapi juga merupakan ancaman bagi kelestariannya. Kurangnya usaha-usaha pelestarian dan pembangunan hutan tanaman tusam Tapanuli dan tingginya intensitas kegiatan penebangan pada daerah-daerah penyebaran alaminya di Tapanuli (Utara dan Selatan) mengakibatkan populasinya semakin menipis. Apabila kita amati, setiap harinya tidak kurang dari sepuluh truk dengan kapasitas 8-15 m3 per truk mengangkut kayu tusam dari berbagai lokasi penebangan (hutan alam dan hutan rakyat) di Tapanuli untuk dibawa ke sentra industri kayu di Medan.

Tanpa adanya usaha-usaha untuk mengurangi atau menghentikan kegiatan penebangan dan kebijakan yang dapat melindungi populasi alaminya, tusam Tapanuli akan semakin terancam. Banyaknya kegiatan penghijauan dan reboisasi (salah satunya Gerhan) yang menggunakan tusam Aceh juga harus menjadi perhatian karena dapat menjadi ancaman bagi potensi genetik tusam Tapanuli.
Kekhawatiran ini sesungguhnya sudah mulai terjadi, berpuluh-puluh truk semai tusam Aceh dari beberapa sentra penyemaian tusam (misal di Simalungun) di tanam di berbagai lokasi Gerhan di Tapanuli. Alasan tidak diketahui dan tersedianya sumber benih yang baik (atau bersertifikat) dapat menjadi pemakluman hal ini terjadi untuk sementara waktu. Ironisnya, bukan orang awan saja yang tidak dapat membedakan tusam Aceh dengan tusam Tapanuli, sebagian akademisi dan pengambil kebijakan juga keliru menyatakan bahwa tusam yang banyak kita jumpai di pinggir-pinggir jalan menuju Parapat dari Medan adalah tusam asli Tapanuli. Padahal yang kita lihat tersebut adalah tusam Aceh yang ditanam pada tahun 60-70an sebagai tanaman reboisasi.

Komitmen Bersama
Kegiatan Gerhan dan pemilihan jenis tusam sebagai salah jenis yang ditanam sesungguhnya merupakan peluang bagi pelestarian dan pengembangan tusam Tapanuli. Hasil evaluasi tanaman Gerhan di DTA Danau Toba oleh Badan Litbang Kehutanan menunjukkan bahwa tusam (asal Aceh) mampu tumbuh baik pada lahan reboisasi dan hutan rakyat. Dalam logika sederhana, karena wilayah Tapanuli dan sebagian DTA Danau Toba merupakan tempat tumbuh alami (asal) tusam Tapanuli, maka diperkirakan tusam ini juga dapat tumbuh baik pada wilayah tersebut.

Apabila tusam Tapanuli diprioritaskan sebagai pengganti tusam Aceh dan beberapa jenis lainnya yang memiliki pertumbuhan yang buruk untuk reboisasi dan hutan rakyat di Sumatera Utara, maka akan dibutuhkan bibit tusam Tapanuli jutaan batang dengan luasan ratusan hektar. Apabila ini terjadi maka sekurangnya kita telah menambah potensi genetik tusam Tapanuli dan apabila kegiatan ini berhasil maka penyebaran tusam Tapanuli dapat diperluas.

Untuk itu dibutuhkan komitmen dari berbagai pihak (Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah – Dinas Kehutanan, Akademisi dan LSM serta masyarakat) untuk mengembangkannya apalagi tusam telah mendapat dorongan dan dukungan dari Menteri Kehutanan untuk diprioritaskan dalam Gerhan di Tapanuli dan DTA Toba. Dengan kebutuhan bibit yang sangat banyak apabila jenis ini nantinya mendapat prioritas, langkah pertama yang harus segera kita lakukan adalah menyiapkan sumber benihnya. Dalam waktu singkat tentu kita tidak dapat berharap muluk untuk menghasilkan bibit yang bermutu tinggi. Walaupun demikian, asalkan kita dapat menjamin bahwa bibit yang akan ditanam tersebut merupakan tusam Tapanuli, sudah merupakan kemajuan bagi pengembangan tusam Tapanuli. Oleh karena itu identifikasi tegakan-tegakan alam tusam Tapanuli yang dapat diperuntukkan sebagai sumber benih dan bibit harus segera dilakukan. Dalam jangka panjang tegakan-tegakan yang telah teridentifikasi dapat diseleksi menyisakan pohon-pohon yang memiliki kualitas yang lebih baik yang menjadi sumber benih.

Hal terpenting dan menjadi ujung tombak pelestarian dan pengembangan tusam Tapanuli sesungguhnya adalah masyarakat. Tanpa adanya peran serta dan animo masyarakat untuk mengembangkannya, cita-cita diatas tidak akan pernah terwujud. Untuk itu perlu ditingkatkan semangat masyarakat untuk menanam tusam, melalui perangkat kebijakan yang mendukung. Rumitnya perizinan penebangan kayu dari hutan rakyat mengurangi animo masyarakat menanam tusam sehingga harus segera direvisi. Tentu tidak menguntungkan apabila kebijakan yang ada merumitkan mereka untuk menjual kayu yang berasal dari hutan tanaman/kebun mereka padahal dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk mengahasilkan kayu tersebut. Sekali lagi diperlukan komitmen berbagai pihak untuk mendukung hal tersebut. Oleh karena itu adanya usaha-usaha sebagian pihak untuk melestarikan ataupun mengusahakan pembibitan tusam Tapanuli harus didukung dan mendapat apreasiasi kita bersama***

Tidak ada komentar: