03 April 2009

Belajar dari Pengalaman ITTO Restorasi Danau Toba (Bagian 4) : Tidak Mudah Menanam Jika Masih Konflik


Ternyata tidak mudah menanam pohon hingga tumbuh di Danau Toba, terutama pada kawasan hutan (reboisasi). Walaupun kawasan hutan tersebut telah ditetapkan (di-SK-kan) sebagai kawasan hutan negara, tidak serta merta pengelolaan menjadi lebih mudah (dalam perspektif pemerintahan) karena klaim marga terhadap lahan tersebut juga kuat (menurut hukum adat – seluruh lahan di Samosir merupakan lahan marga).

Jadi, jika demikian tentu lebih mudah jika menanam pohon untuk penghijauan ? (di luar kawasan hutan Negara). Tidak juga, terutama pada lahan marga. Jika belum diperoleh kesepakatan utuh dari seluruh anggota marga yang berhak terhadap lahan tersebut, akan sangat sulit untuk mengelola dan menanam lahan tersebut. Sayangnya, mekanisme pengambilan persetujuan ini menjadi semakin rumit karena banyak anggota marga yang berada di luar Samosir, bahkan di luar negeri.

Jika ditelusuri lebih dalam, terdapat beberapa indikasi bahwa lahan-lahan tidur, kosong dan terkesan kritis tersebut merupakan ‘lahan konflik’. JICA (2004) melaporkan bahwa jumlah total lahan tidur di DTA Danau Toba mencapai luas 24 ribu hektar, atau sekitar 18% dari total wilayah yang tersedia untuk pertanian. Karena dimiliki oleh seluruh anggota marga, lahan yang umumnya belum terbagi ini menjadi tidak dapat dimanfaatkan dan dikelola akibat sulit memperoleh persetujuan. Apabila salah satu saja anggota marga (klan) tersebut menolak lahan tersebut dikelola maka penolakan tersebut dapat menjadi veto terhadap rencana tersebut.

‘Konflik’ akan semakin meruncing apabila anggota keluarga yang masih berdiam di kampung halaman adalah anak perempuan yang telah bersuami. Karena pola pewarisan lahan marga/kelaurga melalui garis keturunan anak laki-laki, pengelolaan lahan oleh suami anak perempuan tersebut dapat memancing konflik akibat kekhawatiran penguasaan lahan dan pembagian keuntungan dari pengolahan lahan tersebut. Kecemburuan tersebut pada tingkat tertentu dapat memancing perpecahan keluarga dan atau mengakibatkan masyarakat yang berada di kampung halaman mengalami kesulitan untuk mengakses dan mengolah lahan marga mereka tersebut sehingga menjadi terlantar. Semakin lemahnya kontrol dan pengakuan terhadap hukum adat mengakibatkan konflik antar keluarga dalam satu marga ini menjadi berlarut-larut dan sulit dipecahkan sehingga menjadi disinsentif bagi masyarakat yang hidup dari sector pertanian yang banyak terdapat di pedalaman Samosir.

Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2005, luas lahan tidur (sebagian ditengarai akibat ‘konflik’ yang terdapat di Kabupaten Samosir mencapai 48 ribu hektar atau setara dengan 77,4% dari luas lahan kering yang ada di wilayah tersebut. Luasnya lahan tidur ini memiliki korelasi positif dengan peningkatan jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 23 % dari jumlah penduduk Kabupaten Samosir yang berada di bawah garis kemiskinan dengan lebih dari 90% menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Jumlah ini meningkat menjadi 41 % pada tahun 2004 atau naik sekitar 18 % (20.070 jiwa) selama periode tersebut.

Bersambung...


02 April 2009

Belajar dari Pengalaman ITTO Restorasi Danau Toba (Bagian 3) : Pilih Jenis yang Tepat

Bagi yang pernah ke Danau Toba melalui jalan darat dari Medan atau Pematangsiantar, pasti akan menemui tegakan tusam (Pinus merkusii) yang tumbuh baik dan menciptakan iklam mikro yang sejuk menjelang daerah Parapat. Walaupun tusam termasuk jenis asli di Daerah Tangkapan Air Danau Toba (termasuk Tapanuli), apakah banyak masyarakat yang mengetahui bahwa tusam-tusam yang menyejukan pandangan tersebut merupakan tanaman rehabilitasi (reboisasi dan penghijauan)?. Pada beberapa daerah bebatuan di Tapanuli, tusam juga mampu tumbuh dengan baik. Sifat pionir tusam ini memunculkan optimisme bagi program rehabilitasi lahan kritis. Akan tetapi ternyata masyarakat tidak mau menanam tusam.
.
Masyarakat Enggan Menanam Tusam
Masyarakat enggan menanam tusam dan beberapa jenis tanaman kehutanan karena berbagai sebab. Terdapat kekhawatiran masyarakat akan status lahan yang digunakan untuk program penghijauan. Trauma masa lalu, pada beberapa kasus, masyarakat kehilangan hak pengelolaan lahannya karena lahan yang digunakan untuk program penghijauan tersebut (masyarakat juga rancu antara penghijauan dan reboisasi) setelah beberapa waktu kemudian diklaim sebagai kawasan hutan (hutan negara). Kekhawatiran ini dapat dimaklumi karena dalam kenyataan di lapangan, tusam banyak ditanam untuk reboisasi sehingga terdapat image tusam sebagai tanaman hutan Negara atau sudah termasuk batas kawasan hutan negara.

Selain enggan menanam jenis tertentu, komitmen masyarakat untuk merawat tanaman rehabilitasi (reboisasi) terutama jenis-jenis yang dirasa tidak memberikan manfaat ekonomi langsung juga rendah. Hal ini terlihat dari keengganan masyarakat untuk memelihara tanaman tersebut sehingga tidak mampu bersaing dengan semak belukar dan rentan terhadap kebakaran.

Sejarah budidaya suatu jenis juga dapat mempengaruhi preferensi masyarakat. Sebagai contoh jenis ingul/suren (Toona sinensis) dan mahoni (Swietenia macrophylla) yang cukup baik tumbuh di Danau toba dan memiliki nilai ekonomi yang baik, tetapi respon dan ketertarikan masyarakat terhadap kedua jenis tersebut sangat berbeda. Sama halnya dengan keengganan masyarakat untuk menanam tusam, menanam mahoni juga menimbulkan kecemasan dan ketakutan masyarakat akan diklaim sebagai lahan negara karena mahoni juga dianggap sebagai pohon kehutanan. Berbeda dengan ingul/suren yang telah lama ditanam dan dimanfaatkan masyarakat untuk kayu pertukangan dan bahan baku kapal (telah dirasakan nilai ekonominya). Menanam kayu ingul juga telah digunakan untuk batas lahan.

Walaupun cukup luas terdapat di DTA Danau Toba, lahan kritis di luar kawasan hutan yang betul-betul dapat direhabilitasi tidak cukup banyak karena masalah tenurial (konflik lahan marga). Umumnya masyarakat memiliki lahan dalam luasan yang kecil, oleh karenanya pemilihan jenis sangat menentukan kesediaan masyarakat untuk menanam. Masyarakat cenderung tidak mau menanam pohon dengan daur tebang yang lama, (dirasa) nilai ekonominya rendah atau sulit untuk dipanen (repot mengurus surat izin), dan jikapun mau menanam pohon tersebut umumnya terbatas dan pada daerah-daerah yang rawan untuk pengelolaan lahan insentif.

Jenis yang Disukai Masyarakat
Berdasarkan proses perencanaan partisipatif (PRA) yang dilakukan untuk perencanaan pembangunan demplot agroforestry pada beberapa lokasi DTA Danau Toba, prospek ekonomi menjadi pertimbangan terbesar masyarakat dalam pemilihan jenis. Beberapa jenis yang diinginkan masyarakat ditanam pada lahan mereka (bersama-sama dengan tanaman perkebunan/pertanian dengan pola agroforestry) adalah ingul/suren (Toona sinensis), kaliandra (Callyandra spp) untuk sekat bakar, Kayu Haumbang (Morinda tictoria), alpukat (Persea americana), sengon (Paraserianthes falcataria) untuk peneduh, petai (Parkia speciosa), kulit manis (zeylanicum) serta mahoni (Swietenia macrophylla) pada wilayah-wilayah yang telah jelas status lahannya. Tanaman perkebunan seperti cokelat (Teobroma cacao) dan kopi Arabica masih merupakan jenis-jenis yang sangat diinginkan masyarakat ditanam. Populasi kayu haumbang yang saat ini sedikit di hutan alam karena perburuannya untuk bahan baku kerajinan ukiran khas Batak di Samosir juga sangat diinginkan untuk ditanam.

Inroduksi bibit untuk suatu program rehabilitasi dapat menjadi sia-sia jika keinginan masyarakat ini tidak digali. Sudah banyak cerita dan potret bahwa bibit-bibit yang tidak diinginkan akhirnya tidak ditanam, atau jikapun ditanam hanya untuk mengharapkan upah tanam (administrasi keproyekan). Ironi bahwa masyarakat setempat menolak menanam suatu jenis karena masyarakat telah mengetahui bahwa jenis tersebut tidak akan tumbuh (karena tidak sesuai) dapat hindari jika pemilihan jenis ini direncanakan dengan masyarakat.

Perencanaan partisipastif dalam penentuan jenis ini juga dapat diikuti dengan pembangunan persemaian sederhana (atau kebun benih desa) sehingga kebutuhan bibit untuk suatu program rehabilitasi dapat dipenuhi sendiri dari lokasi tersebut. Selain memangkas biaya transportasi (efisien), bibit telah mampu beradaptasi sehingga persentase keberhasilan tanaman akan lebih besar, serta dapat memberikan alternatif sumber penghasilan bagi masyarakat.

Pelajaran yang dapat diambil :
Berikan kebebasan masyarakat untuk memilih jenis yang akan ditanam terutama pada program rehabilitasi pada hutan rakyat. Laksanakan proses perencanaan secara partisipatif. Untuk program reboisasi dapat disarankan berbagai jenis pohon yang menghasilkan hasil hutan bukan kayu bernilai ekonomi baik untuk dipilih oleh masyarakat. Pohon-pohon yang disarankan dan dipilih harus telah dianalisa kesesuaian tempat tumbuhnya.
Masyarakat dapat ditingkatkan partisipasi dalam program rehabilitasi dengan pembangunan persemaian desa untuk pemenuhan kebutuhan bibitnya.

*** Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli dan ITTO PD 394/06 Rev 1 (F) telah memiliki data berbagai jenis dengan kesesuaian tempat tumbuhnya.

27 Maret 2009

Belajar dari Pengalaman ITTO Restorasi Danau Toba (Bagian 2): Ikutkan Kaum Perempuan

Pada salah pada Workshop Pengelolaan Kolaborasi Lahan Marga di Samosir beberapa waktu lalu, salah seorang ketua kelompok tani berbagi pengalaman bahwa mereka masih mempertahankan kearifan ‘marsiadapari/ marsialapari’ dalam mengelola lahan kebun mereka. Uniknya kelompok marsiadapari (Gotong royong) tersebut semua anggotanya merupakan kaum Ibu. Dengan logat yang khas, sang ibu mengemukakan alasan mengapa anggotanya semua mamak-mamak karena para kaum bapak lebih banyak menghabiskan waktunya di lapo tuak daripada di ladang. Pernyataan ini tentu saja mengundang tawa para anggota workshop.

Pernyataan lugas ibu tersebut bukanlah melebihkan kenyataan yang ada. Apabila kita berkunjung ke berbagai lahan pertanian/kebun/ladang di sekitar Danau Toba akan banyak kita temui kaum ibu yang berada di ladang/kebun sejak pagi hari (setelah menyiapkan makanan untuk keluarga) hingga sore hari. Hasil perencanaan partisipatif (PRA) pada beberapa lokasi di Samosir dan Simalungun menunjukkan bahwa hampir sepanjang hari (jam 8 – 18) kaum ibu berada di ladang/kebun untuk merawat tanamannya. Bahkan merawat dan menjaga anak-anak juga dilakukan kaum ibu ini di ladang. Oleh karenanya muncul anekdot bahwa kaum ibu di Danau Toba bekerja mulai matahari terbit hingga mata bapak terbenam.

Selama PRA dan proses pendampingan, secara umum antusiasme dan komitmen yang lebih tinggi ditunjukkan oleh kaum ibu, terutama menyangkut program-program yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas lahan kesejahteraan mereka. Misalnya dalam kegiatan pembuatan kompos dan persemaian, kaum ibu lebih telaten dan mampu secara mandiri melanjutkan program tersebut. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh kelompok-kelompok tani binaan yang juga melibatkan kaum ibu. Satu nilai penting yang ditunjukkan oleh kaum ibu ini adalah kearifan marsiadapari yang masih dipegang diantara gempuran budaya upahan – yang tentu saja high cost dengan produktivitas lahan di sekitar Danau Toba yang rendah.

Jika ditanya, apakah insentif dalam pengolahan lahan diberikan dalam bentuk uang atau sarana produksi, kaum ibu cenderung lebih memilih insentif sarana produksi pertanian seperti bibit unggul, alat pemotong rumput, alat pembuat kompos, dan lainnya. Jika ditanya kenapa tidak dalam bentuk uang, jawabnya sederhana : nanti diminta suaminya untuk minum tuak..he..he..:)

Pelajaran :
Kaum ibu harus dilibatkan dalam program rehabilitasi lahan dan hutan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan. Hak suara kaum perempuan dan laki-laki dalam kelompok harus sama, sehingga lebih baik jika anggota kelompok tani merupakan pasangan suami istri. Praktek Marsiadapari perlu digali dan disebarluaskan dalam berbagai program rehabilitasi.

25 Maret 2009

Belajar dari Pengelaman ITTO Restorasi Danau Toba : Beberapa Catatan selama Proses Pendampingan

a. Keberhasilan program sangat tergantung pada kinerja kelompok tani yang menjadi mitra program rehabilitasi. Sebelum ditunjuk sebagai mitra kerjasama, track-record kelompok tani perlu diidentifikasi (jika perlu diinvestigasi) secara cermat terutama menyangkut keterlibatannya dalam berbagai proyek-proyek rehabiltasi sebelumnya. Investigasi juga mencakup desa yang menjadi lokasi kegiatan. Hal ini perlu menjadi kekhawatiran karena banyak ditemui di lapangan, kelompok-kelompok tani yang hanya terbentuk untuk ‘administrasi proyek’ sehingga biasanya tidak terlalu peduli dengan keberhasilan proyek yang dikerjakannya. Biasanya ‘aroma’ kelompok ini sudah dapat tercium pada saat sosialisasi awal dimana biasanya mareka sudah mulai menanyakan besarnya upah yang akan didapat.

b. Pelaksana proyek/program harus menghindari penggunaan istilah “proyek” serta praktek-praktek keproyekan yang cenderung hanya bersifat administrasi. Lebih baik menggunakan istilah program (yang akan berlanjut) atau menggunakan pendekatan penelitian). Pelaksana proyek tidak boleh terkesan sebagai sinterklas” sang pemberi bantuan dengan dana seakan tidak terbatas. Kelompok tani secara sadar harus merasa dirinya merupakan pihak yang sangat perlu dibantu. Membentuk pemahaman ‘sangat perlu dibantu’ bagi setiap anggota kelompok harus digali melalui proses perencanaan partisipatif (PRA) dan sosialisasi yang mendalam. Diperlukan fasilitator professional untuk kegiatan tersebut.

c. Apabila terdapat hambatan dari golongan “tua” maka program sebaiknya masuk melalui anak-anak muda yang telah terbuka. Walaupun demikian setiap pengambilan keputusan tetap melalui proses musyawarah bersama dalam masayrakat. Hindari iming-iming uang dalam hal ini, lebih baik menawarkan program yang diperlukan kelompok, misal pelatihan pembuatan kompos dan persemaian sederhana, ataupun sarana pertanian sebagai insentif untuk suatu kegiatan (misal mesin potong rumput dan lainnya). Pelibatan peran aktif kaum ibu juga dapat menjadi salah satu strageti yang efektif. Bukan rahasia lagi jika alokasi waktu kaum ibu lebih banyak di ladang dari kaum bapak di sekitar Danau Toba. Kaum ibu juga lebih cermat dalam mengatur pengeluaran terutama menyangkut insentif/upah kegiatan. Sangat disayangkan jika insetif/upah tersebut hanya habis di kedai tuak.

d. Proses perencanaan partisipatif bersama masyarakat harus betul-betul terlaksana dengan baik (dibantu fasilitator). Perlu berhati-hati dan cermat betul dalam pengambilan keputusan dan kesepakatan dalam pengelolaan lahan desa dan penyusunan aturan main yang mengikat dan disepakati. Biasanya perangkat desa, camat bahkan bupati tidak begitu kuat pengaruhnya bila menyangkut masalah adat di Danau Toba.

e. Untuk mengurangi “pengaruh” upah/ HOK bagi keberlanjutan kegiatan, dimana terdapat kecenderungan tidak tertarik lagi merawat tanaman di masa datang setelah pendanaan kegiatan selesai, maka perlu dicari/ dipilih jenis-jenis yang memiliki nilai ekonomi baik, misal kayu Haumbang, ingul dan gaharu/alim. Diantara tanaman tersebut perlu juga ditanam tanaman perkebunan misal cokelat dan kopi (harus dengan bibit unggul) ataupun tanaman pakan ternak. Untuk merangsang kelompok lebih giat mengelola lahannya, dapat pula diberikan insentif bagi anggota kelompok yang mampu memelihara tanaman hidup pada tahun kedua. Oleh karenanya manajemen pohon-per-pohon dapat diadopsi untuk kegiatan penanaman terutama rehabilitasi pada lahan Negara (reboisasi).

f. Untuk mengurangi beban “bantuan” pertanyaan kelompok mitra “saya makan apa ketika membuka lahan dan menanam pohon?”, maka selain upah atau insentif (misal makan siang dan minuman dalam gotong royong), dapat diberikan pula bantuan bibit tanaman pertanian, misal bibit ubi, singkong dan jagung, yang ditanam pada sebagian lahan pada saat pembukaan lahan. Sehingga sebelum lahan ditanam pepohonan dalam setiap periode pembukaan lahannya terlebih dahulu sebagian lahan ditanam tanaman berumur pendek tersebut. Pola ini akan menyerupai pola tanaman bergilir karena setelah tanaman ubi, singkong dan jagung ditanam dapat ditanam dengan pepohonan serta diantara jarak tanam pohon dapat dipertahankan untuk tanaman pertanian jangka pendek.

g. Tenaga pendamping yang dapat “masuk” kepada masyarakat sangat diperlukan. Sebaiknya dipilih anak muda profesional yang jujur dan berasal dari luar masyarakat setempat. Terdapat sedikit 'masalah' jika pendampingnya merupakan putra daerah setempat karena biasanya terdapat 'personality respect' yang lebih rendah jika dibandingkan tenaga pendamping berasal dari luar.

h. Hindari segala pertemuan di kedai/lapo tuak karena arah pembicaraan dapat disusupi oleh pihak lain yang tidak diinginkan dan hal dapat bempengaruh buruk bagi pemahaman anggota kelompok. Sebaiknya pertemuan dibuat di rumah salah seorang anggota kelompok atau balai desa.

06 Maret 2009

Rumusan Workshop Kolaborasi Lahan Marga

Samosir, 25-26 Februari 2009
ITTO PD 394/06 Rev.1 (F)

Workshop ”Pengelolaan Kolaboratif Lahan Marga ” diselenggarakan di Samosir tanggal 25-26 Februari 2009 oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Samosir yang bekerjasama dengan Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam dan ITTO PD 394/06 Rev. 1 (F). Workshop dihadiri oleh ± 60 orang yang terdiri dari berbagai instansi terkait dengan pemulihan ekosistem Danau Toba.

Memperhatikan sambutan Bupati Kabupaten Samosir, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Samosir dan Team Leader ITTO, pemaparan enam makalah yang dipresentasikan, proses diskusi dan saran-saran dari seluruh peserta Workshop dihasilkan beberapa rumusan sebagai berikut:

1. Pengelolaan kolaboratif lahan marga di sekitar Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba merupakan langkah terobosan dan strategis yang harus dilakukan oleh para pemangku kepentingan sebagai upaya pemanfaatan lahan-lahan marga yang terlantar dan tidak produktif untuk mendukung program ”Hijaukan Danau Toba” (Greening Lake Toba).

2. Hambatan dan kendala utama terkait dengan pemanfaatan lahan marga untuk program penghijuan meliputi: (i) resistensi masyarakat menanam pohon karena takut ada klaim sebagai kawasan hutan, (ii) banyak lahan-lahan marga yang belum terdaftar di instansi terkait, (iii) konflik lahan antar marga sering terjadi karena ketiadaan batas yang jelas di lapangan, (iv) kurangnya sosialisasi dan penyuluhan dalam pemanfaatan lahan marga, (v) pendekatan pihak ketiga terhadap marga kurang tepat, (vi) peranan lembaga adat (bius) dipinggirkan, (vii) kurangnya dukungan/kebijakan pemerintah.

3. Ketakutan akan klaim sebagai kawasan hutan sebenarnya dapat diselesaikan dengan pembuatan Surat Pernyataan dari instansi berwenang atau pembuatan Nota Kesepaham (MOU) dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan kolaboratif.


4. Lahan-lahan marga yang belum terdaftar dapat disiasati dengan pemberian insentif oleh instansi yang berwenang kepada masyarakat yang mendaftarkan lahannya (misalnya potongan pajak dan kemudahan pengurusan perijinan) dan memberikan sanksi/disinsentif kepada yang tidak atau belum mendaftarkan lahannya (misalnya pengenaan pajak yang lebih tinggi dan persyaratan yang lebih ketat dalam perijinan).

5. Tidak ada batas yang jelas antar lahan marga di lapangan dapat diselesaikan oleh instansi yang berwenang dengan melakukan pengukuran, penandaan batas dan pemetaan secara partisipatif sehingga konflik lahan antar marga tidak terjadi lagi di masa datang.

6. Kurangnya sosialisasi dan penyuluhan atas program penghijauan dapat diselesaikan melalui penguatan kelembagaan penyuluhan dan peningkatan program serta kegiatan penyuluhan terpadu oleh instansi yang berwenang di sekitar DTA Danau Toba.

7. Pendekatan pihak ketiga yang kurang tepat dapat diperbaiki dengan memperhatikan norma dan urutan silsilah keturanan suatu marga dan mengadakan musyawarah di lingkup internal marga yang menjadi mitra kerjanya.

8. Peranan lembaga adat (Bius) yang terpinggirkan dapat ditingkatkan melalui penguatan kembali peranan dan fungsi lembaga adat tersebut dalam penyelesaian konflik lahan di internal dan eksternal marga. Sebagai contoh Kabupaten Samosir telah memasukkan peran dan fungsi lembaga adat dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terkait dengan Pemanfaatan Lahan Marga.

9. Kurangnya dukungan pemerintah dapat diselesaikan melalui pembuatan peraturan daerah (Perda) dan peraturan desa (Perdes) yang mendorong perwujudan ”Desa Ramah Lingkungan” dengan menanam pohon bagi masyarakat yang mengurus ijin pernikahan dan perceraian, pembuatan akte kelahiran dan kematian. Pembuatan Ranperda ”pemanfaatan lahan marga” oleh kabupaten Samosir perlu dihargai dan patut ditiru oleh kabupaten lainnya di sekitar DTA Danau Toba sebagai terobosan penting dalam upaya pemanfaatan lahan-lahan marga yang kurang produktif dan diterlantarkan.


10. ITTO tetap komitmen dan konsisten mendukung program ”Hijaukan Danau Toba” dan penyelesaian Ranperda Kabupaten Samosir dengan pembuatan pilot percontohan penyelesaian konflik lahan marga di desa Onan Runggu dengan membuat batas-batas lahan yang jelas dan penanaman massal dan serentak di lahan marga tersebut.

11. Semua pemangku kepentingan diharapkan terus menjalankan komitmen dan kesepakatannya untuk mendukung program ”Hijaukan Danau Toba” secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu pertemuan berkala (6 bulanan) akan diinisiasi oleh ITTO dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan program ”Hijaukan Danau Toba”.


Samosir, 26 Februari 2009

Tim Perumus:

1. Prof. Riset. Ir. Rusli Harahap, M.Sc
2. Drs. Rahman Naibaho, MSi
3. Ir. Subarudi, M.Wood.Sc
4. Ir. Hotmauli Sianturi, MSc
5. Dra. Sinta M Marpaung

01 Maret 2009

Rumusan Workshop Disseminasi ITTO Restorasi Ekosistem Danau Toba







Workshop Diseminasi Hasil-Hasil Studi ITTO PD 394/06 Rev. 1 (F) diselenggarakan di Medan tanggal 9 Februari 2009 oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara yang bekerjasama dengan Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam dan ITTO. Workshop dihadiri oleh ± 60 orang yang terdiri dari berbagai instansi terkait dengan pemulihan ekosistem Danau Toba.

Memperhatikan sambutan Gubernur Provinsi Sumatera Utara, pemaparan tujuh makalah yang dipresentasikan, diskusi dan saran-saran dari seluruh peserta Workshop dihasilkan beberapa rumusan sebagai berikut:

1. Danau Toba merupakan asset yang sangat strategis dalam mendukung pembangunan di Sumatera Utara. Oleh karena itu eksistensi dan fungsi Danau Toba harus dipertahankan dan perlu ditingkatkan.

2. Ganguan terhadap Danau Toba terus terjadi baik di bagian daerah tangkapan air (DTA) dan kawasan perairan Danau Toba. Hal ini disebabkan oleh belum adanya persepsi diantaranya pemangku kepentingan dan instansi-instansi terkait dan persoalan tenurial (kepemilikan lahan) yang tidak jelas.

3. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka kegiatan ITTO PD 394/06 Rev. 1 (F) “Restorasi Fungsi Ekosistem DTA Danau Toba Melalui Pemberdayaan Masyarakat dan Penguatan Kapasitas Lokal” disambut baik dan diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata terhadap restorasi fungsi DTA Danau Toba melalui: (i) pemberdayaan masyarakat dan penguatan kapasitas lokal, dan (ii) penelitian dan kajian-kajian yang dapat digunakan sebagai dasar ilmiah untuk pengambilan keputusan mengenai pengelolaan Danau Toba lebih lanjut. Kecuali itu, hasil-hasil dari kegiatan ITTO diharapkan dapat mendukung penerapan Rencana Pengelolaan Ekosistem Danau Toba (Lake Toba Ecosystem Management Plan-LTEMP).

4. Pengelolaan kawasan DTA Danau Toba tidak dapat dipisahkan dari pengembangan sosial budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu pengembangan sumber-sumber kehidupan harus berbasis (i) komoditi yang cocok dan sesuai tempat tumbuhnya, (ii) kesesuaian dengan tingkat pengetahuan dan ketrampilan masyarakat setempat, (iii) kearifan lokal dan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat.

5. Persoalan Danau Toba sangat komplek baik ruang lingkup maupun cakupannya. Oleh karena itu 7 kabupaten yang wilayahnya menjadi DTA Danau Toba perlu duduk bersama untuk membuat perencanaan terpadu dan mengalokasikan anggarannya sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing kabupaten.

6. Dalam rangka pengembangan kapasitas masyarakat lokal telah dibangun tujuh desa model ITTO di kabupaten Karo, Simalungun dan Samosir. Namun dalam pelaksanaan pelatihan dan alih teknologi akan melibatkan masyarakat di luar 3 kabupaten model yang ada.

7. Perekonomian masyarakat di DTA Danau Toba masih didominasi oleh sektor pertanian yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk itu perlu dikembangkan usaha lainnya seperti dagang, buruh, dan jasa seperti wisata. Kerajinan ukir khas batak, kain tenun ulos dan gerabah dapat dikembangkan sebagai sumber pendapatan alternatif. Untuk itu perlu diwajibkan pemakaian pakaian dinas resmi dari bahan ulos bagi PNS pada acara resmi, demikian pula pada upacara adat dan agama (seperti pakai jas dengan bahan dari tenun ulos).

8. Berbagai pola tanam agroforestri perlu dipelajari dan dikembangkan di DTA Danau Toba sehingga aspek konservasi tanah dan usaha tani menghasilkan nilai optimal dan diterima oleh pasar. Industri yang berkembang di daerah setempat merupakan peluang pasar bagi komoditi kayu maupun non kayu yang dikembangkan oleh masyarakat.

9. Untuk sebagian masyarakat yang tinggal di DTA Danau Toba terdapat penyakit “mental block” dan menganggap dirinya “sisa” dari perantauan. Untuk itu perlu dilakukan pendampingan dalam membangkitkan kepercayaan masyarakat dalam usaha pertanian.

10. Banyak stakeholders berkepentingan terhadap keberadaan Danau Toba. Untuk itu perlu dididentifikasi dengan jelas stakeholder tersebut beserta peranannya masing-masing. Perlu dipertimbangkan rencana pembentukan model manajemen kolaboratif dalam pengelolaan dan pengembangan lahan marga di DTA Danau Toba.

11. Peran dan kontribusi salah satu stakeholder yaitu Dinas Kehutanan Sumatera Utara didasarkan pada tugas pokok dan fungsinya serta sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sedangkan program-program yang disusun dikaitkan dengan keberadaan kawasan hutan, potensi hutan, kondisi masyarakat setempat, dan masalah serta kendala yang ada.

12. Kunci dalam upaya pemulihan eksositen Danau Toba adalah koordinasi diantara stakeholder yang dikelompokkan dalam stekholders utama (primary) dan pendukung (secondary) serta kunci (key). Kejelasan peran, fungsi dan program/kegiatan yang terkait pemulihan menjadi penting untuk memposisikan diri setiap stakeholder secara proporsional dan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam pengelolaan ekosistem Danau Toba.

13. Kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan dan diimplementasikan oleh para pemangku kepentingan diharapkan tetap mengacu kepada kelestarian ekosistem Danau Toba dan tidak menghambat dalam pelaksanaan program dan kegiatan pemulihannya.

Medan, 9 Februari 2009

Tim Perumus:

1. Prof. Riset. Ir. Rusli Harahap, M.Sc
2. Ir. Garendel Siboro, M.Si
3. Ir. Subarudi, M.Wood.Sc
4. Ir. Sulistyo A. Siran, M.Sc.