25 September 2008

ADA APA DENGAN TPTI?

Oleh : Aswandi

Salah satu pertanyaan yang selalu mengemuka apabila kita berbicara tentang kelestarian hutan adalah apa yang menyebabkan hutan produksi yang dikelola HPH banyak yang rusak atau memiliki produktivitas rendah.

Berbagai jawaban tentang penyebab kerusakan dapat kita peroleh seperti illegal logging, kebakaran hutan, perambahan, penegakan hukum yang lemah, tidak dilakukannya pembinaan tegakan dan sebagainya.

Banyaknya hutan bekas tebangan yang rusak, tentu saja membuat para rimbawan gerah. Kegerahan tersebut terlihat dengan semakin seringnya TPTI diusik-usik ‘kemapanannya’ sebagai sistem silvikultur di hutan alam. Ada yang beranggapan tidak cocok lagi diterapkan pada hutan bekas tebangan terutama dengan produktivitas rendah, tidak punya dasar ilmiah yang cukup sehingga perlu direvisi, dan berbagai alasan lainnya.

Sesungguhnya apa yang salah dengan TPTI? Konsepnya yang salah atau pelaksanaannya. Apabila kita berpikir pelaksanaan yang salah akibat konsep yang salah, maka tentu saja kita harus segera merevisi atau mengganti konsep tersebut. Tetapi pelaksanaan yang salah juga dapat diakibatkan oleh berbagai eksternalities seperti lemahnya pengawasan, penegakan hukum dan berbagai faktor lainnya yang saling terkait. Kompleks!

Bagi yang berpikir konsep TPTI perlu diganti, telah muncul berbagai sistem baru seperti TJTI, TPTJ dan terbaru TPTII yang berbeda dengan TPTI. Bagi yang masih memandang TPTI tetap sesuai, juga telah muncul pemikiran untuk merevisi sistem tersebut, terutama rangkaiannya yang panjang dengan yang lebih sederhana.

Memang (telah kita sadari) rangkaian tahapan TPTI belum didasari pertimbangan ilmiah yang cukup, sehingga efektivitas tahapan TPTI sering diperdebatkan. Sering muncul pertanyaan perlu tidaknya pengkayaan, pembebasan dan penjarangan.
Belum lagi akses yang sulit pada hutan rawa setelah tebangan terutama setelah jalan cabang (rel) dibongkar mengakibatkan hampir tidak ada kegiatan pembinaan setelah 2 tahun setelah penebangan.

Penyederhanaan
Menggantikan TPTI dengan system silvikultur yang baru atau merevisinya (menyederhanakan)? Dengan mempertimbangkan resiko ekologis yang cukup besar apabila menerapkan sistem silvikultur yang relatif baru, rasanya revisi (penyederhanaan) rangkaian TPTI merupakan hal yang layak dipertimbangkan.

Aksesibilitas yang relatif sulit pada hutan rawa gambut merupakan salah satu pembatas kegiatan pembinaan tegakan setelah jalan rel dibongkar. Oleh karena itu kegiatan pembinaan tegakan seperti pembebasan, pengkayaan dan penjarangan sebaiknya segera dilakukan setelah penebangan.

Sulitnya mengetahui kinerja kegiatan perapihan karena kondisi tegakan masih cukup terbuka dan kemungkinan terduplikasi dengan kegiatan pembebasan maka tahapan ini diintegrasikan dengan kegiatan ITT sehingga ITT dapat dimajukan dari Et+2 menjadi Et+1 sehingga pengadaan bibit lebih segera dilakukan dan penanaman pengkayaan/ rehabilitasi pada Et+2.

Rekomendasi
  • Untuk meningkatkan kinerja pengawasan kegiatan pembinaan maka perlu diperkuat kembali peran dan tanggung jawab berbagai pihak pemangku kebijakan.
  • Penyederhanaan tahapan pembinaan tegakan dilakukan dengan mengintegrasikan kegiatan perapihan, pembebasan dengan ITT sehingga kegiatan berikutnya dilakukan lebih awal.
  • Rangkaian TPTI (pembinaan tegakan) yang disederhanakan menjadi : 1. ITT terintegrasi dengan pembebasan dan penjarangan (Et+1). 2. Pengadaan bibit (Et+1). Penanaman pengkayaan/rehabilitasi (Et+2). Penjarangan lanjutan bersifat opsional.Kegiatan pengkayaan/rehabilitasi lebih diarahkan pada areal terbuka dengan jenis yang tepat.

Tidak ada komentar: