03 April 2009

Belajar dari Pengalaman ITTO Restorasi Danau Toba (Bagian 4) : Tidak Mudah Menanam Jika Masih Konflik


Ternyata tidak mudah menanam pohon hingga tumbuh di Danau Toba, terutama pada kawasan hutan (reboisasi). Walaupun kawasan hutan tersebut telah ditetapkan (di-SK-kan) sebagai kawasan hutan negara, tidak serta merta pengelolaan menjadi lebih mudah (dalam perspektif pemerintahan) karena klaim marga terhadap lahan tersebut juga kuat (menurut hukum adat – seluruh lahan di Samosir merupakan lahan marga).

Jadi, jika demikian tentu lebih mudah jika menanam pohon untuk penghijauan ? (di luar kawasan hutan Negara). Tidak juga, terutama pada lahan marga. Jika belum diperoleh kesepakatan utuh dari seluruh anggota marga yang berhak terhadap lahan tersebut, akan sangat sulit untuk mengelola dan menanam lahan tersebut. Sayangnya, mekanisme pengambilan persetujuan ini menjadi semakin rumit karena banyak anggota marga yang berada di luar Samosir, bahkan di luar negeri.

Jika ditelusuri lebih dalam, terdapat beberapa indikasi bahwa lahan-lahan tidur, kosong dan terkesan kritis tersebut merupakan ‘lahan konflik’. JICA (2004) melaporkan bahwa jumlah total lahan tidur di DTA Danau Toba mencapai luas 24 ribu hektar, atau sekitar 18% dari total wilayah yang tersedia untuk pertanian. Karena dimiliki oleh seluruh anggota marga, lahan yang umumnya belum terbagi ini menjadi tidak dapat dimanfaatkan dan dikelola akibat sulit memperoleh persetujuan. Apabila salah satu saja anggota marga (klan) tersebut menolak lahan tersebut dikelola maka penolakan tersebut dapat menjadi veto terhadap rencana tersebut.

‘Konflik’ akan semakin meruncing apabila anggota keluarga yang masih berdiam di kampung halaman adalah anak perempuan yang telah bersuami. Karena pola pewarisan lahan marga/kelaurga melalui garis keturunan anak laki-laki, pengelolaan lahan oleh suami anak perempuan tersebut dapat memancing konflik akibat kekhawatiran penguasaan lahan dan pembagian keuntungan dari pengolahan lahan tersebut. Kecemburuan tersebut pada tingkat tertentu dapat memancing perpecahan keluarga dan atau mengakibatkan masyarakat yang berada di kampung halaman mengalami kesulitan untuk mengakses dan mengolah lahan marga mereka tersebut sehingga menjadi terlantar. Semakin lemahnya kontrol dan pengakuan terhadap hukum adat mengakibatkan konflik antar keluarga dalam satu marga ini menjadi berlarut-larut dan sulit dipecahkan sehingga menjadi disinsentif bagi masyarakat yang hidup dari sector pertanian yang banyak terdapat di pedalaman Samosir.

Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2005, luas lahan tidur (sebagian ditengarai akibat ‘konflik’ yang terdapat di Kabupaten Samosir mencapai 48 ribu hektar atau setara dengan 77,4% dari luas lahan kering yang ada di wilayah tersebut. Luasnya lahan tidur ini memiliki korelasi positif dengan peningkatan jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 23 % dari jumlah penduduk Kabupaten Samosir yang berada di bawah garis kemiskinan dengan lebih dari 90% menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Jumlah ini meningkat menjadi 41 % pada tahun 2004 atau naik sekitar 18 % (20.070 jiwa) selama periode tersebut.

Bersambung...