Oleh : Rusli MS Harahap dan Aswandi*
ABSTRAK Pinus merkusii Jungh et de Vriese strain Tapanuli dan Kerinci relatif sedikit menjadi obyek penelitian dan pengembangan sehingga penanaman dan pengusahaannya tidak semaju tusam strain Aceh. Penebangan liar dan kurangnya usaha-usaha pelestarian dan pembangunan hutan tanaman mengakibatkan populasi alami tusam Tapanuli dan Kerinci semakin menipis. Oleh karena itu diperlukan strategi pengembangan yang tepat melalui percepatan pembangunan hutan tanaman dan konservasi genetik secara in situ maupun eks-situ untuk mengurangi laju penipisan kekayaan genetik. Dukungan litbang terutama teknologi perbenihan tusam sangat diperlukan terutama untuk meningkatkan perkecambahan benih yang selama ini menjadi pembatas kegiatan pengembangan dan konservasinya melalui pengamatan fenologi dan ekologi, sifat dasar kayu, pengaruh hutan, silvikultur, dan sosek masyarakat. Fenomena pertumbuhan permudaan tusam pada tempat-tempat terbuka pada populasi alaminya dapat dijadikan sebagai strategi konservasi in-situ terutama untuk mendorong pertumbuhan permudaan alam pada populasi alaminya.
Kata kunci : tusam, strain Tapanuli, strain Kerinci, konservasi, benih, litbang.
A. Latar Belakang Dengan semakin berkurangnya kemampuan hutan alam untuk memenuhi kebutuhan kayu, pembangunan hutan tanaman menjadi ujung tombak substitusi kayu dari hutan alam. Salah satu jenis yang diprioritaskan untuk hutan tanaman adalah tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese ). Jenis yang juga dikenal sebagai pinus Sumatra (Sumatran pine) ini dapat digunakan sebagai bahan baku pulp-kertas, kayu bangunan dan hasil bukan kayu berupa getah/gondorukem (Suhardi et al., 1994). Tusam merupakan satu-satunya jenis pinus yang tumbuh alami di Indonesia bahkan di seluruh bumi bagian selatan (southern hemisphere). Sebaran alaminya di Sumatera adalah Aceh, Tapanuli dan Kerinci (Cooling dan Gaussen, 1970). Jenis ini dapat tumbuh baik mulai dari beberapa meter di atas permukaan laut sampai pegunungan, tetapi memiliki pertumbuhan yang lebih baik pada ketinggian 800 m sampai dengan 2000 m dari permukaan laut (Darsidi, 1984; Suhardi et al., 1994). Sejak pemerintahan kolonial Belanda, tusam telah banyak ditanam di Sumatera dan Jawa baik untuk penghijauan maupun hutan tanaman. Akan tetapi tusam yang ditanam tersebut umumnya merupakan tusam yang berasal (strain) dari Aceh, sedangkan strain Tapanuli dan Kerinci relatif sangat sedikit ditanam sehingga penyebarannya hanya pada sebaran alaminya. Keiding (1970) mencatat bahwa hampir 90% tusam yang ditanam pada periode 1930 – 1970 adalah tusam strain Aceh dan 10% sisanya tusam strain Tapanuli, sedangkan tusam Kerinci tidak diketahui. Penebangan baik dengan izin maupun tanpa izin dan rendahnya percepatan pembangunan hutan tanaman tusam telah mengakibatkan semakin berkurangnya populasi tusam terutama tusam strain Tapanuli dan Kerinci. Relatif tingginya nilai ekonomi kayu tusam strain Tapanuli (batang relatif lebih lurus, percabangan ramping, kulit batang lebih tipis dan getah lebih sedikit) mengakibatkan populasi ini banyak diburu oleh penebang liar. Pengamatan sepintas di Pos Kehutanan di Simarjarunjung Kabupaten Simalungun, setiap hari rata-rata 10 truk tronton dengan kapasitas 20-25 m3 kayu tusam lewat. Truk-truk angkutan tersebut membawa kayu tusam dari Tapanuli Utara dan sekitarnya dengan tujuan industri pengolahan kayu di Pematangsiantar, Tebingtinggi dan Medan. Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada tusam strain Kerinci dimana penebangan liar dan konversi hutan menjadi lahan perkebunan mengakibatkan populasi di sebaran alaminya semakin menipis. Tanpa adanya usaha-usaha konservasi dan budidayanya, kedua strain ini akan semakin berkurang populasinya. Hal ini tentu akan mengakibatkan semakin menurunnya potensi genetik keanekaragaman hayati yang kita miliki.
B. Rumusan Masalah Sesungguhnya tusam telah lama menjadi obyek penelitian, akan tetapi usaha-usaha pemuliaan, budidaya, pengelolaan dan pemanfaatannya lebih banyak dilakukan terhadap tusam strain Aceh. Hal ini umumnya dikarenakan strain ini telah menyebar di seluruh Indonesia terutama Sumatera dan Jawa. Sedangkan tusam strain Tapanuli dan Kerinci belum banyak dipelajari padahal kedua strain memiliki potensi yang tidak kalah dibandingkan strain Aceh yang telah banyak dikembangkan. Kemampuannya tumbuh pada areal-areal berbatu yang mencerminkan kekritisan lahan sesungguhnya mencerminkan potensi jenis ini sebagai tanaman pioneer untuk rehabilitasi lahan. Banyaknya illegal logging (eksploitasi berlebihan, perambahan) mengakibatkan tusam strain Tapanuli dan Kerinci tumbuh dalam luasan-luasan kecil dan terkelompok sehingga memiliki resiko kepunahan yang cukup tinggi apabila tidak ada upaya penyelamatan dan konservasi. Bersama dengan 12 (dua belas) jenis lainnya, tusam termasuk dalam daftar IUCN Red List Categories tahun 1994. Kegiatan konservasi tusam telah mulai dilakukan melalui pengumpulan materi genetic dari sebaran alam dan pembangunan tegakan benih, uji provenans, uji keturunan, kebun konservasi (konsevasi eks-situ) serta perlindungan pada sebaran alaminya seperti pada kawasan Taman Nasional dan Cagar Alam (konservasi in-situ). Akan tetapi konservasi eks-situ tersebut belum berhasil dilakukan karena rendahnya tingkat perkecambahan benih (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, 2005). Permudaan alam tusam strain Tapanuli dan Kerinci sulit didapat pada tegakan yang tertutup. Akan tetapi permudaan akan banyak ditemui pada daerah yang terbuka seperti bekas tanah longsor (Yafid et al, 2005), perambahan dan penebangan. Kondisi ini tentu memerlukan strategi konservasi in-situ yang relatif berbeda untuk jenis ini terutama untuk mendorong pertumbuhan permudaan. Dipihak lain sangat disayangkan adanya penanaman reboisasi dan penghijauan yang menggunakan tusam Aceh yang ditanam berdekatan dengan sebaran alami tusam Tapanuli dan Kerinci. Hal ini diduga akan menurunkan kemurnian kedua strain tersebut di masa yang akan datang.
C. Status Riset 1. Taksonomi Pinus merkusii termasuk dalam famili Pinaceae dan bersinonim dengan P. sumatrana Junghuhn (1846) dan P. merkusiana Cooling et Gaussen (1970), P. merkiana Gordon, dan P. finlaysoniana Wall. ex Blume 1847).
2. Penyebaran Alami Tusam merupakan satu-satunya jenis Pinus asli Indonesia (Sumatera : Aceh, Tapanuli dan Kerinci) dengan penyebaran : a. Strain Aceh penyebarannya dari pegunungan Seulawah Agam sampai sekitar TN Gunung Leuser kemudian ke Selatan mengikuti Pegunungan Bukit Barisan lebih kurang 300 km melalui Danau Laut Tawar, Uwak, Blangkejeren sampai Kutacane. Pada daerah ini ketinggian 800-2000 mdpl. b. Strain Tapanuli, menyebar di daerah Tapanuli ke Selatan Danau Toba. Tegakan tusam alam terdapat di pegunungan Dolok Tusam, Batu Manumpak, Sialogo, Habinsaran, Dolok Sibualbuali, Dolok Sipirok, Sipagimbar, Padang Mandailing dan Dolok Pardumahan. Pada perbukitan Dolok Saut tegakan tusam bercampur dengan pohon daun lebar. Ketinggian tempat 1000-1500 mdpl. c. Strain Kerinci menyebar di sekitar Pegunungan Kerinci. Tegakan alami relatif mengelompok dalam luasan yang tidak begitu luas di CA Bukit Tapan, Sungai Penuh, Bukit Terbakar dan Pungut Mudik. Ketinggian tempat 1500-2000 mdpl.
3. Karakter Morfologi dan Ekologi Bagaimana kita membedakan tusam asli Tapanuli, Kerinci dengan tusam Aceh? Apabila dicermati terlihat perbedaan pada warna daun, kulit batang, produktivitas getah, penampakan tekstur kayu, dan percabangan pohon. Tusam Tapanuli mempunyai batang yang relatif lebih lurus, percabangan dan tajuk yang lebih ramping, kulit batang tipis dan tidak beralur, dan warna daun lebih muda. Kulit batang Tusam Kerinci relatif lebih halus dan tidak beralur dibandingkan tusam Tapanuli.
Harahap (2000a) mencatat perbedaan kondisi ekologi penyebaran tusam Tapanuli di Dolok Tusam dan tusam Kerinci di Pungut Mudik. Curah hujan di kedua populasi relatif sama yaitu tipe B menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson dengan curah hujan rata-rata 2088 mm di Siborongborong Tapanuli dan 1985 mm di Sungai Penuh. Tanah di kedua sebaran populasi sangat berbeda di mana di Kerinci tergolong pada Podsolik Merah Kuning sedangkan di Tapanuli merupakan kompleks Podsolik Merah Kuning, Latosol dan Litosol dengan pH tanah 4,75 – 5,90 di Dolok Tusam dan 4,56 - 5,0 di Pungut Mudik. Kadar monoterpene kedua populasi berbeda terutama pada delta–3 carene yang lebih rendah pada tusam Tapanuli serta kadar limonene, alpha dan beta pinene lebih tinggi di Tapanuli daripada di Kerinci (Harahap 1989). Mengingat komposisi monoterpene merupakan sifat yang menurun maka hal ini penting dalam rangka budidaya untuk tujuan khusus. Menurut Yafid et al (2005), permudaan alam tusam Kerinci sangat sulit didapati di bawah tegakan pinus maupun tegakan non pinus, tetapi banyak ditemukan di tempat terbuka seperti bekas tanah longsor. Jenis suku Fagaceae dan Lauraceae banyak didapati pada tegakan non pinus di Bukit Tapan. Menurut Kaliman dan Suryamin dalam Kalima et al (2005) di Kerinci tusam berasosiasi dengan Altingia excelsa, Castanopsis acuminatissima A.DC, Agathis borneensis Warb, Quercus gemillifora Bl. Kneme conferta Warb. Di hutan alam Dolok Tusam di bawah tegakan pinus ditanami dengan kemenyan dan bercampur dengan Corchorus sp.
4. Teknologi Perbenihan Teknologi perbenihan tusam Tapanuli dan Kerinci belum banyak diketahui karena sebagaimana halnya tusam Aceh. Tusam Aceh sudah diketahui fenologi bahkan sudah diteliti hasil persilangan terkendali dan dibangun tegakan benihnya (Hendrati et al 1997). Akibat sulitnya mendapatkan biji tusam dari alam selama ini mengaki-batkan teknik perbenihan tusam Tapanuli dan Kerinci belum berkembang (pers. com. dengan Mohammad Nai’em). Akan tetapi kesulitan tersebut kemungkinan diakibatkan tidak samanya masa berbunga dan berbuah tusam Tapanuli dan Kerinci dengan tusam Aceh yang umumnya menjadi rujukan. Hal ini dibuktikan pada hasil kerjasama Balai Litbang Kehutanan Sumatera dengan salah satu perusahaan pembibitan di Sumatera Utara bahwa masih banyak diperoleh buah (runjung) pada bulan Maret – April 2006 yang merupakan sisa buah pada bulan November – Desember.
5. Silvikultur Sulitnya mendapatkan biji tusam selama ini mengakibatkan teknik budidaya tusam Tapanuli dan Kerinci belum berkembang. Kerentanan terhadap kebakaran hutan pada tegakan tusam murni disebabkan potensi bahan bakar yang tinggi (Wibowo 2005). Untuk itu perlu dihindari pembangunan hutan tanaman murni karena terbukti di alam jenis tusam dapat berasosiasi dengan jenis daun lebar lainnya seperti puspa, kemenyan dan rasamala terutama di daerah pegunungan seperti Tapanuli dan Kerinci (Harahap, 2000b). Pertumbuhan tanaman kedua populasi belum banyak diketahui dalam hal bentuk batang, tabel volume, pengaruh hutan, hama penyakit sebagaimana telah diteliti pada tusam Aceh.
6. Pemanfaatan Sifat dasar kayu dan perlakuan pengawetan tusam Tapanuli dan Kerinci belum banyak diketahui. Umum diketahui bahwa asal kayu tusam alam dari Tapanuli lebih disukai di Sumatera Utara karena lebih mudah dikerjakan dan lebih mahal harganya dibandingkan dengan asal Aceh perlu dibuktikan secara ilmiah. Penduduk di sekitar hutan alam tusam biasanya memakainya sebagai bahan bangunan untuk rumah demikian pula dengan pemakaian teras kayu untuk penyulut kayu bakar banyak digunakan terutama di daerah pegunungan yang berhawa sejuk/dingin. Hasil perhitungan beberapa sifat dasar kayu terutama penyusutan menunjukkan bahwa kayu tusam Tapanuli memiliki persentase penyusutan yang lebih kecil. Beberapa nilai sifat dasar kayu tusam Tapanuli adalah kadar air : 115-186%, berat jenis 0,41-0,52 (Aceh : 0,55), penyusutan volume : 5,1-8,0%, penyusutan longitudinal (panjang) : 0,2-8,0%, penyusutan tangensial : 3,0-4,8% (Aceh : 8,3%), dan penyusutan radial : 3,0-4,8% (Aceh 8,3%) (Pasaribu, in press).
7. Status Konservasi Menurut Red List Category IUCN 1994, tusam dikategorikan Rawan. Hal ini berarti bahwa populasinya berkurang karena luas wilayah keberadaan populasinya diperkirakan kurang dari 20.000 km2 atau wilayah yang dapat ditempatinya diperkirakan kurang dari 2000 km2, atau keadaan populasinya mengalami fragmentasi berat (sangat serius) atau diketahui hanya berada pada satu lokasi dan populasinya diamati atau diduga berkurang secara terus menerus dengan memperhatikan luas, wilayah keberadaan dan/aau kualitas habitat dan jumlah individu dewasa. Konservasi in-situ tusam dilakukan pada Taman Nasional Kerinci Seblat (CA Bukit Tapan) dan CA Sibualbuali. Populasi tusam Tapanuli banyak terdapat pada Hutan Lindung Dolok Tusam. Peningkatan status Hutan Lindung Dolok Tusam sebagai kawasan konservasi in-situ harus mulai dipikirkan karena maraknya illegal logging di sekitar dan dalam kawasan terutama di sekitar jalan yang membelah hutan lindung tersebut.
D. STRATEGI PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI 1. Tusam dan Gerhan Diantara banyak pertanyaan tentang keberhasilan Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan (Gerhan) di Sumatera Utara, mencuat kembali harapan lama pengembangan tusam untuk kegiatan rehabilitasi lahan (reboisasi dan penghijauan) dan pembangunan hutan tanaman untuk memenuhi kebutuhan kayu pertukangan, gondorukem dan industri kertas (pulp). Hasil evaluasi keberhasilan Gerhan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba oleh Litbang Kehutanan menunjukkan bahwa tusam memiliki performansi pertumbuhan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan jenis lainnya seperti meranti, mahoni, dan suren/ingul. Jenis ini dapat tumbuh pada daerah-daerah berbatu dengan kondisi tanah yang tipis yang banyak dijumpai pada lahan-lahan kritis di DTA Danau Toba. Hal ini sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru. Banyak contoh keberhasilan kegiatan rehabilitas lahan seperti reboisasi dan penghijauan dari tahun 60-an hingga awal 80-an yang dapat kita lihat saat ini. Beratus hektar tanaman tusam banyak kita jumpai di sekitar DTA Danau Toba. Tegakan reboisasi dan penghijauan tersebut saat ini telah dipanen kayu dan gondorukemnya. Dalam logika sederhana, karena wilayah Tapanuli dan sebagian DTA Danau Toba merupakan tempat tumbuh alami (asal) tusam Tapanuli, jenis ini tentu dapat tumbuh baik pada wilayah tersebut sebagaimana halnya tusam Aceh yang digunakan sebagai tanaman Gerhan saat ini. Dengan keuntungan ekologis dan ekonomis serta nilai moral yang dimilikinya sebagai jenis asli setempat maka pengusulan tusam Tapanuli sebagai jenis andalan setempat perlu kita dukung. Gerhan dapat menjadi tonggak kebangkitan tusam Tapanuli ini. Untuk merealisasikan harapan tersebut dibutuhkan komitmen dari berbagai pihak, mulai dukungan politis dari wakil rakyat dan para pemimpin negara, dukungan teknis dan keuangan dari instansi terkait dan tentu saja animo masyarakat untuk mengembangkannya. Dukungan politis telah dilontarkan oleh Menteri Kehutanan dalam pertemuannya dengan Kepala Dinas Kehutanan se-Sumatera Utara di Tanjungbalai pada pertengahan April 2006 ini. Gayung ini harus kita sambut dengan menyiapkan segala hal berdasarkan tanggung jawab kita masing-masing.
2. Hutan Tanaman dan Hutan Rakyat Dengan semakin menurunnya kemampuan hutan alam untuk memenuhi kebutuhan kayu, keinginan untuk mengembangkan hutan tanaman tusam perlu ditingkatkan kembali. Saat ini, tiap hari dapat mencapai 10 – 20 truk pengangkut kayu melintasi jalan-jalan lintas dari berbagai tegakan tusam di Tapanuli seperti Dolok Tusam, Batu Manumpak dan Sialogo di Tapanuli Utara menuju Medan untuk diolah. Apabila setiap truk memuat 15 – 20 meter kubik kayu bulat maka setiap hari ditebang 150 – 400 meter kubik atau kurang lebih 100 – 500 pohon ditebang setiap harinya. Suatu permintaan yang cukup tinggi tentunya. Selama ini permintaan tersebut dipenuhi dari izin penebangan hutan produksi dan kayu rakyat. Selain untuk kayu pertukangan, tusam juga dimanfaatkan untuk bahan baku pulp, salah satunya pada industri Kertas Kraft Aceh. Sesungguhnya ujung tombak pengembangan tusam Tapanuli adalah masyarakat. Mekanisme pembangunan hutan tanaman skala kecil baik secara mandiri ataupun dalam skim HTI PIR dapat segera diinisiasikan. Harapan tersebut tidak akan terwujud tanpa adanya animo masyarakat untuk mengembangkannya. Perlu disiapkan seperangkat kebijakan yang menggugah semangat masyarakat menanam tusam terutama pada tanah milik maupun ulayat (marga). Tentu tidak menguntungkan apabila kebijakan yang ada merumitkan masyarakat menjual kayu yang telah ditanam dan dipeliharanya bertahun-tahun.
3. Strategi Konservasi Apabila tusam Tapanuli diprioritaskan sebagai tanaman Gerhan maka akan dibutuhkan jutaan bibit tusam Tapanuli untuk merehabilitasi lahan kritis di DTA Danau Toba dan Tapanuli. Dengan ini kita sekurang-kurangnya telah menambah potensi genetik dan memperluas penyebaran tusam Tapanuli. Selama ini kegiatan konservasi in-situ dilakukan hanya pada kawasan Taman Nasional dan Cagar Alam. Dominannya pertumbuhan tusam Tapanuli di Dolok Tusam dan Batu Manumpak (Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung) di Tapanuli Utara sebaiknya juga dijadikan sebagai kawasan konservasi dengan dasar penunjukan yang lebih jelas. Dikhawatirkan tanpa adanya penunjukan yang lebih tegas sebagai kawasan konservasi (atau areal produksi benih), kegiatan illegal logging dan izin penebangan kayu akan mengurangi populasi tusam Tapanuli pada kedua wilayah tersebut. Sulitnya ditemui permudaan alam di bawah dan sekitar tegakan tusam pada populasi alaminya dapat disiasati dengan membersihkan areal di sekitar pohon induk dari semak belukar. Hal ini didasarkan pada fenomena banyaknya ditemui anakan pada tempat-tempat terbuka (tanah longsor di Bukit Tapan, kiri kanan dan badan jalan di Dolok Tusam dan Batu Manumpak di Tapanuli Utara). Rendahnya tingkat perkecambahan benih tusam Tapanuli dan Kerinci yang menjadi faktor pembatas dalam konservasi eks-situ dan budidayanya harus dikaji kembali. Hasil kerjasama Balai Litbang Kehutanan Sumatera dengan salah satu perusahaan pembibitan di Tapanuli memperoleh persen perkecambahan benih sebesar 60 – 70% dari buah (runjung) yang dikumpulkan pada bulan April – Mei 2006 dari hutan Dolok Tusam dan Batu Manumpak. Di kedua wilayah tersebut juga banyak ditemui anakan alami pada bulan Maret - Mei yang tumbuh di kiri kanan dan badan jalan yang juga dapat dijadikan sebagai sumber bahan tanaman. Biji yang dikumpulkan dari kedua lokasi tersebut saat ini juga telah dikirimkan ke Balai-balai dan Pusat Litbang Kehutanan atas inisiatif penulis untuk diteliti dan dikembangkan.
4. Strategi Litbang Apabila tusam Tapanuli diprioritas sebagai tanaman Gerhan di Sumatera Utara, langkah pertama yang harus segera dilakukan adalah menyiapkan sumber benihnya. Dalam waktu singkat tentu kita tidak berharap banyak dapat menghasilkan bibit yang bermutu tinggi. Pada tahap awal adanya jaminan bahwa bibit yang ditanam tersebut merupakan tusam Tapanuli yang diperoleh dari suatu tegakan yang telah teridentifikasi merupakan suatu kemajuan. Sejalan dengan waktu, tegakan tersebut diseleksi menyisakan pohon-pohon yang memiliki kualitas yang lebih baik dan dilakukan pemuliaan dengan pengkayaan dapat menjadi sumber benih. Peran swasta sangat dibutuhkan dalam hal ini. Kerjasama antara instansi litbang (Balai Litbang Kehutanan Sumatera) dengan perusahaan persemaian bibit telah ditempuh untuk membangun tegakan sumber benih tusam Tapanuli di Siborong-borong Tapanuli Utara. Dalam jangka panjang perlu segera disusun rencana penelitian dan pengembangan tusam Tapanuli dan Kerinci. Rencana tersebut dapat mengacu pada litbang tusam Aceh yang saat ini telah maju. Kegiatan penelitian dapat dimulai dengan survey dan eksplorasi untuk pengumpulan materi genetik untuk pembangunan kebun konservasi ex-situ dan pengujian teknik propagasi. Pengamatan fenologi dan determinasi genetik diperlukan untuk mengetahui potensi genetik ketiga strain tusam tersebut. Ditemuinya keragaman tebal kulit dan respon tempat tumbuh yang berbeda terhadap morfologi batang, kualitas kayu dan getah sesungguhnya merupakan potensi genetik yang harus diketahui. Adanya perbedaan kondisi tajuk tegakan, pola tumbuh dari ketiga strain ini memunculkan hipotesis tentang berbedanya pengaruh hutan ketiga tipe tegakan tersebut.
Untuk mengetahui peluang pengembangannya sebagai kayu pertukangan perlu dilakukan pengujian sifat dasar kayu, produktivitas getah dan pengujian berbagai teknik silvikultur intensif untuk meningkatkan produktivitasnya serta membangun kebun benih semai dan uji keturunan untuk menghasilkan benih yang berkualitas. Walaupun sesungguhnya pengembangan tusam in telah lama dirintis, lemahnya aspek-aspek legalitas mengakibatkan pengusahaan hutan tanaman industri dan hutan rakyat tusam menghadapai berbagai kendala. Kajian terhadap berbagai perangkat kebijakan serta aspek sosial ekonomi sangat perlu dilakukan terutama untuk menghasilkan kebijakan yang mendorong pengembangannya.
E. KESIMPULAN Kurangnya dukungan litbang akibat berbagai faktor pembatas merupakan salah satu penyebab kurangnya pengembangan dan konservasi tusam Tapanuli dan Kerinci. Oleh karena itu perlu dilakukan litbang tusam (pengamatan fenologi dan ekologi, sifat dasar kayu, pengaruh hutan, silvikultur, sosek) dalam rangka pemanfaatan kedua galur tersebut minimal aplikasi budidayanya untuk daerah di sekitar asal populasi alaminya (Kerinci dan Tapanuli). Fenomena pertumbuhan permudaan tusam Tapanuli dan Kerinci pada tempat-tempat terbuka pada populasi alaminya dapat dijadikan sebagai strategi konservasi in-situ terutama untuk mendorong pertumbuhan permudaan alam pada populasi alaminya.
F. SARAN Disarankan agar Dinas Kehutanan aktif untuk melestarikan menjaga kemurnian hutan alam tusam Tapanuli dan Kerinci melalui penebangan tusam hasil kegiatan reboisasi dan penghijauan yang menggunakan tusam Aceh. Areal tersebut selanjutnya diganti dengan tusam strain Tapanuli dan Kerinci.
F. Daftar Pustaka
Cooling, E.N.G. and H. Gaussen 1970. In Indochina Pinus merkusiana sp. nov. et non P. merkusii Jungh. et De Vriese. Trav. Lab. Forest. Toulouse T. 1 V. 8 Art. 7 Harahap R.M.S. 2000. Status Hutan Alam Pinus merkusii di Sumatera Utara saat ini. dalam E.B. Hardiyanto (ed) Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999: Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fahutan UGM Yogyakarta. p 54-57 _______2000 a. Kragaman Sifat dan Data Ekologi Populasi Alam Pinus merkusii di Aceh, Taspanuli dan Kerinci. dalam E.B. Hardiyanto (ed) Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999: Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fahutan UGM Yogyakarta. p 216-227 _______2000 b. Uji Asal Benih Pinus merkusii di Sumatera Utara. dalam E.B. Hardiyanto (ed) Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999: Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fahutan UGM Yogyakarta. p 228-232 _______1989. Variasi Komposisi Monoterpene Pinus merkusii di Sumatera. Bull. Pen. Kehutanan Pematangsiantar 4(4): 79- 86 Hendrati, R.L., P. Tambunan, dan A. Sofyan 1997. Penyerbukan terkendali pada tanaman Pinus merkusii. Wana Benih I (3): 11-22 Kalima, T, U. Sutisna dan R.M.S Harahap 2005. Studi Sebaran Alam Pinus merkusii Jung et de Vries Tapanuli, Sumatera Utara dengan Metode Cluster dan Pemetaan Digital. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Bogor II (5): 497-505 Keiding, H. 1970. Report on a Journey to Sumatra, Thailand and India for the Danish/FAO Forest Tree Seed Centre. FAO Document Corporate Repository. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, 2005. Data Base Jenis-jenis Prioritas untuk Konservasi Genetik dan Pemuliaan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Suhardi, Sosef, M.S.M., Laming, P.B. & Ilic, J., 1994. Pinus L. In Lemmens, R.H.M.J. & Soerianegara, I. (Eds.): Plant Resources of South-East Asia No 5(1). Timber trees: Major commercial timbers. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia. pp 349-357. Wibowo A, 2005. Kerawanan Kawasan Hutan dan Dampak Kebakaran Terhadap Tegakan Pinus merkusii Jung et de Vries. Di KPH Sumedang, Jawa Barat Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Bogor II(1):1-9 Yafid B. dan Y.S. Jafarsidik 2005. Permudaan Pinus merkusii Jungh et de Vries Galur Kerinci, Potensi, dan Komposisi Tegakan di Kawasan Hutan Bukit Tapan, Taman Nasional Kerinci Seblat. Info Hutan II (2): 145-152 * Staf Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera di Pematangsiantar |