a. Keberhasilan program sangat tergantung pada kinerja kelompok tani yang menjadi mitra program rehabilitasi. Sebelum ditunjuk sebagai mitra kerjasama, track-record kelompok tani perlu diidentifikasi (jika perlu diinvestigasi) secara cermat terutama menyangkut keterlibatannya dalam berbagai proyek-proyek rehabiltasi sebelumnya. Investigasi juga mencakup desa yang menjadi lokasi kegiatan. Hal ini perlu menjadi kekhawatiran karena banyak ditemui di lapangan, kelompok-kelompok tani yang hanya terbentuk untuk ‘administrasi proyek’ sehingga biasanya tidak terlalu peduli dengan keberhasilan proyek yang dikerjakannya. Biasanya ‘aroma’ kelompok ini sudah dapat tercium pada saat sosialisasi awal dimana biasanya mareka sudah mulai menanyakan besarnya upah yang akan didapat.
b. Pelaksana proyek/program harus menghindari penggunaan istilah “proyek” serta praktek-praktek keproyekan yang cenderung hanya bersifat administrasi. Lebih baik menggunakan istilah program (yang akan berlanjut) atau menggunakan pendekatan penelitian). Pelaksana proyek tidak boleh terkesan sebagai sinterklas” sang pemberi bantuan dengan dana seakan tidak terbatas. Kelompok tani secara sadar harus merasa dirinya merupakan pihak yang sangat perlu dibantu. Membentuk pemahaman ‘sangat perlu dibantu’ bagi setiap anggota kelompok harus digali melalui proses perencanaan partisipatif (PRA) dan sosialisasi yang mendalam. Diperlukan fasilitator professional untuk kegiatan tersebut.
c. Apabila terdapat hambatan dari golongan “tua” maka program sebaiknya masuk melalui anak-anak muda yang telah terbuka. Walaupun demikian setiap pengambilan keputusan tetap melalui proses musyawarah bersama dalam masayrakat. Hindari iming-iming uang dalam hal ini, lebih baik menawarkan program yang diperlukan kelompok, misal pelatihan pembuatan kompos dan persemaian sederhana, ataupun sarana pertanian sebagai insentif untuk suatu kegiatan (misal mesin potong rumput dan lainnya). Pelibatan peran aktif kaum ibu juga dapat menjadi salah satu strageti yang efektif. Bukan rahasia lagi jika alokasi waktu kaum ibu lebih banyak di ladang dari kaum bapak di sekitar Danau Toba. Kaum ibu juga lebih cermat dalam mengatur pengeluaran terutama menyangkut insentif/upah kegiatan. Sangat disayangkan jika insetif/upah tersebut hanya habis di kedai tuak.
d. Proses perencanaan partisipatif bersama masyarakat harus betul-betul terlaksana dengan baik (dibantu fasilitator). Perlu berhati-hati dan cermat betul dalam pengambilan keputusan dan kesepakatan dalam pengelolaan lahan desa dan penyusunan aturan main yang mengikat dan disepakati. Biasanya perangkat desa, camat bahkan bupati tidak begitu kuat pengaruhnya bila menyangkut masalah adat di Danau Toba.
e. Untuk mengurangi “pengaruh” upah/ HOK bagi keberlanjutan kegiatan, dimana terdapat kecenderungan tidak tertarik lagi merawat tanaman di masa datang setelah pendanaan kegiatan selesai, maka perlu dicari/ dipilih jenis-jenis yang memiliki nilai ekonomi baik, misal kayu Haumbang, ingul dan gaharu/alim. Diantara tanaman tersebut perlu juga ditanam tanaman perkebunan misal cokelat dan kopi (harus dengan bibit unggul) ataupun tanaman pakan ternak. Untuk merangsang kelompok lebih giat mengelola lahannya, dapat pula diberikan insentif bagi anggota kelompok yang mampu memelihara tanaman hidup pada tahun kedua. Oleh karenanya manajemen pohon-per-pohon dapat diadopsi untuk kegiatan penanaman terutama rehabilitasi pada lahan Negara (reboisasi).
f. Untuk mengurangi beban “bantuan” pertanyaan kelompok mitra “saya makan apa ketika membuka lahan dan menanam pohon?”, maka selain upah atau insentif (misal makan siang dan minuman dalam gotong royong), dapat diberikan pula bantuan bibit tanaman pertanian, misal bibit ubi, singkong dan jagung, yang ditanam pada sebagian lahan pada saat pembukaan lahan. Sehingga sebelum lahan ditanam pepohonan dalam setiap periode pembukaan lahannya terlebih dahulu sebagian lahan ditanam tanaman berumur pendek tersebut. Pola ini akan menyerupai pola tanaman bergilir karena setelah tanaman ubi, singkong dan jagung ditanam dapat ditanam dengan pepohonan serta diantara jarak tanam pohon dapat dipertahankan untuk tanaman pertanian jangka pendek.
g. Tenaga pendamping yang dapat “masuk” kepada masyarakat sangat diperlukan. Sebaiknya dipilih anak muda profesional yang jujur dan berasal dari luar masyarakat setempat. Terdapat sedikit 'masalah' jika pendampingnya merupakan putra daerah setempat karena biasanya terdapat 'personality respect' yang lebih rendah jika dibandingkan tenaga pendamping berasal dari luar.
h. Hindari segala pertemuan di kedai/lapo tuak karena arah pembicaraan dapat disusupi oleh pihak lain yang tidak diinginkan dan hal dapat bempengaruh buruk bagi pemahaman anggota kelompok. Sebaiknya pertemuan dibuat di rumah salah seorang anggota kelompok atau balai desa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar