27 Maret 2009

Belajar dari Pengalaman ITTO Restorasi Danau Toba (Bagian 2): Ikutkan Kaum Perempuan

Pada salah pada Workshop Pengelolaan Kolaborasi Lahan Marga di Samosir beberapa waktu lalu, salah seorang ketua kelompok tani berbagi pengalaman bahwa mereka masih mempertahankan kearifan ‘marsiadapari/ marsialapari’ dalam mengelola lahan kebun mereka. Uniknya kelompok marsiadapari (Gotong royong) tersebut semua anggotanya merupakan kaum Ibu. Dengan logat yang khas, sang ibu mengemukakan alasan mengapa anggotanya semua mamak-mamak karena para kaum bapak lebih banyak menghabiskan waktunya di lapo tuak daripada di ladang. Pernyataan ini tentu saja mengundang tawa para anggota workshop.

Pernyataan lugas ibu tersebut bukanlah melebihkan kenyataan yang ada. Apabila kita berkunjung ke berbagai lahan pertanian/kebun/ladang di sekitar Danau Toba akan banyak kita temui kaum ibu yang berada di ladang/kebun sejak pagi hari (setelah menyiapkan makanan untuk keluarga) hingga sore hari. Hasil perencanaan partisipatif (PRA) pada beberapa lokasi di Samosir dan Simalungun menunjukkan bahwa hampir sepanjang hari (jam 8 – 18) kaum ibu berada di ladang/kebun untuk merawat tanamannya. Bahkan merawat dan menjaga anak-anak juga dilakukan kaum ibu ini di ladang. Oleh karenanya muncul anekdot bahwa kaum ibu di Danau Toba bekerja mulai matahari terbit hingga mata bapak terbenam.

Selama PRA dan proses pendampingan, secara umum antusiasme dan komitmen yang lebih tinggi ditunjukkan oleh kaum ibu, terutama menyangkut program-program yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas lahan kesejahteraan mereka. Misalnya dalam kegiatan pembuatan kompos dan persemaian, kaum ibu lebih telaten dan mampu secara mandiri melanjutkan program tersebut. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh kelompok-kelompok tani binaan yang juga melibatkan kaum ibu. Satu nilai penting yang ditunjukkan oleh kaum ibu ini adalah kearifan marsiadapari yang masih dipegang diantara gempuran budaya upahan – yang tentu saja high cost dengan produktivitas lahan di sekitar Danau Toba yang rendah.

Jika ditanya, apakah insentif dalam pengolahan lahan diberikan dalam bentuk uang atau sarana produksi, kaum ibu cenderung lebih memilih insentif sarana produksi pertanian seperti bibit unggul, alat pemotong rumput, alat pembuat kompos, dan lainnya. Jika ditanya kenapa tidak dalam bentuk uang, jawabnya sederhana : nanti diminta suaminya untuk minum tuak..he..he..:)

Pelajaran :
Kaum ibu harus dilibatkan dalam program rehabilitasi lahan dan hutan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan. Hak suara kaum perempuan dan laki-laki dalam kelompok harus sama, sehingga lebih baik jika anggota kelompok tani merupakan pasangan suami istri. Praktek Marsiadapari perlu digali dan disebarluaskan dalam berbagai program rehabilitasi.

Tidak ada komentar: