25 Juli 2008

Strategi Pengelolaan Hutan di NAD Setelah Moratorium Penebangan


Oleh : Cut Rizlani Kholibrina dan Aswandi

Untuk menyelamatkan hutan yang tersisa, Gubernur NAD mengeluarkan kebijakan moratorium logging (jeda tebang) tidak lama setelah diangkat sebagai pemimpin rakyat Aceh. Kebijakan ini patut diacungi jempol karena memihak lingkungan dengan mengurangi penebangan liar sehingga mendapatkan apresiasi yang tinggi dari berbagai pihak. Apresiasi yang tinggi terhadap konsistensi kebijakan ini kembali disampaikan para wakil rakyat di DPRD NAD pada tanggal 26 Mei dalam Sidang Paripurna Pembahasan RAPBA 2008 yang juga dihadiri oleh Gubernur.
Akan tetapi apresiasi yang disampaikan juga diikuti dengan pertanyaan : Apa yang harus dilakukan untuk menutupi kebutuhan kayu sedangkan hasil kayu dari hutan produksi NAD nihil dan pemenuhan dari hutan rakyat belum dapat diandalkan?. Jika pun terdapat kayu rakyat, perangkat peraturan yang ada belum menjadi insentif bagi masyarakat menanam pohon. Pertanyaan ini sangat realistis mengingat NAD membutuhkan kayu yang sangat tinggi bagi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami hingga 200.000 m3/tahun (Kompas, 7 April 2006). Apabila kebijakan jeda tebang ini tidak diikuti oleh perangkat kebijakan yang mendukung maka akan sangat sulit kebijakan pro lingkungan ini dapat bertahan dalam jangka panjang.

Insentif Pengembangan Hutan Rakyat
Disadari bahwa untuk menghentikan penebangan liar dibutuhkan pendekatan yang komprehensif mulai dari penegakan hukum, penataan pasar dan pemenuhan kebutuhan kayu dari alternatif usaha kehutanan yang lestari. Jika selama ini kita mengandalkan Hak Pengusahaan Hutan (Izin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu) untuk memenuhi kebutuhan kayu yang terbukti tidak lestari dan tidak memiihak masyarakat, tidak ada salahnya kita mulai menggali skim pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Tidak seperti HPH yang padat modal dan skala luas, skim ini dapat memiliki luasan yang kecil, padat karya dengan partisipasi masyarakat yang tentu berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Salah satu skim pengelolalaan hutan bersama masyararakat adalah hutan rakyat. Hutan rakyat dapat dikembangkan pada lahan milik atau lahan yang dibebani hak-hak lainnya di luar kawasan hutan dengan tujuan untuk menghasilkan kayu rakyat dan rehabilitasi lahan. Luas hutan rakyat minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman minimal 500 tanaman per-hektar.
Sesungguhnya hutan rakyat telah lama berkembang di masyarakat dan telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sebagai investasi dan penghasilan tambahan yang dapat diandalkan. Hal inilah yang mendorong pemerintah memberikan berbagai insentif seperti Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR) sejak tahun 1997 dan mengeluarkan berbagai peraturan penertiban kayu rakyat. Tetapi dalam pelaksanaannya, kebijakan yang dikeluarkan malah menjadi disinsetif. Kewajiban kayu hutan rakyat memiliki Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) menambah beban biaya. Padahal, dalam PP 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan disebutkan bahwa kayu yang berasal dari hutan hak diberi Surat Keterangan Asal Usul yang diterbitkan oleh kepala desa atau pejabat setara dan berlaku sebagai SKSHH.
Untuk memperkuat PP tersebut dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.51/Menhut/II/2006 tanggal 10 Juli 2006 tentang Penggunaan SKAU untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak. Tetapi perbedaan penafsiran dari berbagai stakeholder mengakibatkan insentif ini tidak berjalan dengan baik. Adanya over-acting oknum keamanan dalam penertiban kayu juga sedikit banyak meruntuhkan semangat petani hutan rakyat. Belum lagi beberapa kewajiban lainnya seperti retribusi daerah, jasa keamanan dan lainnya yang mengakibatkan biaya tinggi sehingga masyarakat tidak tertarik menanam karena kesulitan memanennya.
Tidak ada jalan lain yang harus ditempuh pemerintah daerah NAD selain memberikan insentif kebijakan yang tepat dan betul-betul berpihak. Peluang otonomi daerah yang memberikan kewenangan daerah untuk menyusun perangkat hukum dan birokrasi yang lebih ringkas harus dimanfaatkan. UUPA dan Qanun Kehutanan NAD harus diberdayakan dan diperkuat dengan penyusunan perangkat hukum dibawahnya. Banyaknya hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perundangan kehutanan (UU, PP dan SK Menteri) tidak boleh dijadikan penghambat. Harus mulai diinisiasikan pembelajaran masyarakat dapat penyusunan Peraturan Desa terutama yang berkaitan dengan penguatan bukti-bukti atau asal usul kayu rakyat. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang berada di luar kawasan hutan seperti rotan, getah damar, lebah madu dan lainnya yang belum memiliki payung hukum dapat difasilitasi dengan penerbitan qanun (perda) yang berkaitan dengan hal tersebut.
Insentif pengembangan hutan rakyat juga dapat diberikan melalui pembebasan biaya dan kemudahan birokrasi dalam pengurusan izin/ surat keterangan, kredit lunak, penghapusan berbagai pungutan/ retribusi, bantuan pembangunan dan pemeliharaan hutan rakyat dan sebagainya yang tentu saja akan lebih mudah pelaksanaannya dalam kerangka otonomi daerah. Koordinasi antar sektor (Kehutanan, Perhubungan, Koperasi, Perdagangan, dan Kepolisian) harus dilakukan sehingga keragaman interpretasi terhadap suatu kebijakan dapat dihindari.

Jasa Lingkungan : Carbon Trade
Perhatian dunia terhadap pemanasan global mengemuka dalam dua dasa warsa terakhir dan puncaknya pada Konvensi Internasional tentang Perubahan Iklim yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Dalam protocol tersebut disepakati bahwa pemanasan global merupakan masalah semua bangsa sehingga penanganannya harus melibatkan semua negara. Dalam protocol tersebut ditawarkan beberapa solusi seperti mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism) dan pencegahan deforestasi (Avoided Deforestation/AD) yang mengacu pada pencegahan hilangnya hutan untuk menurunkan emisi gas yang akan mengakibatkan pemanasan global. Ide dasar mekanisme ini adalah negara-negara maju di Utara membayar negara-negara berkembang di selatan untuk mengurangi penggundulan hutan dengan memberi bantuan keuangan untuk kepentingan tersebut.
Dalam perkembangannya mekanisme AD tidak hanya saja mengusung pencegahan deforestasi, tetapi juga penurunan emisi dari pencegahan degradasi hutan. Skim ini kemudian dikenal sebagai Reduced Emission from Degradation and Deforestations (REDD). REDD menawarkan kewajiban membayar melalui sistem perdagangan karbon bagi negara-negara maju kepada negara-negara berkembang guna mengurangi penggundulan hutannya. Skim REDD ini menjanjikan kempensasi dana hingga US$3,75 miliar (Rp33,75 triliun) pertahun dari negara-negara maju untuk menyelesaikan masalah kerusakan hutan.
Mekanisme yang ditawarkan oleh REDD dapat menjadi sumber pendapatan pemerintah (pusat/ daerah) dengan adanya dana kompensasi tersebut, terutama dalam kerangka otonomi khusus – dalam pengelolaan hutan. Dana kompensasi juga dapat diberikan kepada pengelola kawasan lindung, inisiatif pemberantasan illegal logging, skema pembayaran jasa lingkungan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dengan kondisi kawasan lindung yang mendominasi fungsi lahan di NAD, telah adanya inisiatif pemberantasan illegal logging melalui moratorium penebangan, skim REDD ini dapat dijadikan peluang untuk memperoleh dana kompensasi yang dapat dijadikan sumber pembiayaan pengelolaan dan perlindungan hutan di NAD.
Apakah sudah ada pemerintah daerah yang memulai? Pemerintah Daerah Papua menyatakan kesiapannya menjadi daerah percontohan kegiatan REDD mulai pertengahan 2008 (Kompas, 6/12/2007). Akan tetapi satu hal yang harus disiapkan oleh stakeholder kehutanan NAD, bahwa apapun strategi yang akan ditempuh masalah penatagunaan dan pengukuhan hutan merupakan hal pertama yang harus diselesaikan.


Tidak ada komentar: