17 Juli 2008

Rehabilitasi Lahan Kritis dengan Agroforestry

Kondisi sumberdaya hutan dan lahan di Indonesia saat ini telah mengalami kerusakan yang serius. Akibat pengelolaan yang tidak tepat, lahan kritis meningkat setiap tahunnya dimana pada tahun 1977 luas lahan kritis di pulau-pulau besar di Indonesia (kecuali Jawa) hanya seluas 15 juta ha, tahun 1987 meningkat menjadi 19 juta ha dan data terakhir mengindikasikan kawasan hutan dan lahan yang rusak lebih dari 43 juta ha, dengan laju deforestasi lebih dari 1,6 juta ha/tahun. Khusus untuk Sumatera Utara, luas lahan kritis hingga akhir Pelita VI (1999/2000) adalah seluas 469.143 ha yang terdiri atas 227.146 ha lahan kritis yang berada dalam kawasan hutan dan 241.997 ha berada di luar kawasan hutan. Kerusakan hutan dan lahan tersebut telah mengakibatkan banjir, tanah longsor dan kekeringan yang telah menimbulkan bencana nasional.

Berbagai cara untuk menangani lahan kritis ini telah dilakukan oleh pemerintah bahkan sejak lama, yakni tahun 1976 antara lain melalui program reboisasi dan penghijauan. Akan tetapi keberhasilan fisik dari kegiatan reboisasi dan penghijauan tersebut relatif rendah yakni sekitar 68% dan 21 %. Dalam lingkup Sumatera Utara, realisasi kegiatan rehabilitasi lahan ini juga relatif rendah dimana dari 3.766 ha lahan kritis dalam kawasan hutan hanya 1.279 ha yang terealisasi, serta 16.033 ha yang terealisasi dari 22.711 ha yang direncanakan pada lahan kritis di luar kawasan hutan (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2002). Hal ini disebabkan karena kurang tepatnya teknologi yang diterapkan, kondisi lahan belum dipelajari dengan cermat, serta kesenjangan antara kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap masalah ini dengan tindakan nyata yang komprehensif untuk mengatasinya dimana terdapat kecenderungan kegiatan ini hanya terbatas pada aspek teknis dan dikerjakan dalam kerangka keproyekan saja.

Upaya pemerintah untuk mengatasi degradasi lingkungan melalui gerakan nasional rehabilitasi lahan (GNRHL) juga mendapat kritikan keras dari berbagai kalangan. Gerakan itu dinilai hanya menghambur-hamburkan anggaran, apalagi pemerintah hingga kini belum menemukan satu pedoman pelaksanaan yang efektif. Sangat disayangkan jika gerakan nasional yang membutuhkan dana trilyunan rupiah itu tidak dilaksanakan dengan perencanaan yang matang.

Permasalahan Lahan Kritis

Walaupun pemerintah telah mengeluarkan SK Menhut No. 20/Kpts-II/2001, tentang standar dan kriteria rehabilitasi hutan dan lahan yang merupakan acuan dari seluruh pihak untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan secara terpadu dan berkelanjutan, hingga saat ini masih banyak lahan-lahan kritis yang belum mendapat perhatian untuk direhabilitasi menjadi produktif kembali.

Ciri-ciri utama lahan kritis adalah lahan yang gundul, berkesan gersang, dan bahkan muncul batu-batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng curam. Selain itu lahan kritis juga memiliki tingkat produktivitasnya rendah dan vegetasi alang-alang yang mendominasinya dengan sifat-sifat lahan yang memiliki pH tanah relatif rendah.

Meluasnya lahan kritis tidak dapat dilepaskan dari beberapa hal, antara lain (i) tekanan penduduk yang tinggi akan lahan, (ii) perladangan berpindah, (iii) padang penggembalaan yang berlebihan, (iv) pengelolaan hutan yang tidak baik, dan (v) pembakaran yang tidak terkendali. Fujisaka dan Carrity (1989) mengemukakan bahwa masalah utama yang dihadapi di lahan kritis antara lain adalah lahan mudah tererosi, tanah bereaksi masam dan miskin unsur hara.

Agroforestry dan Usaha Tani Konservasi

Masalah mendasar yang dihadapi pada lahan kritis adalah bagaimana mengubah lahan tersebut menjadi produktif kembali dan bagaimana menghambat agar lahan kritis tidak semakin meluas. Penanganan masalah lahan kritis secara parsial yang telah ditempuh selama ini ternyata tidak mampu mengatasi masalah yang kompleks ini. Oleh karena itu strategi penanganan lahan kritis perlu diubah melalui pendekatan holistik dengan fokus sumberdaya berbasiskan masyarakat. Dalam hal ini, upaya peningkatan produktivitas lahan kritis hanya akan dapat berhasil apabila masyarakat dilibatkan sebagai aktor utama serta mereka memperoleh peningkatan kesejahteraan dari kegiatan rehabilitasi lahan tersebut. Diantara kegiatan rehabilitasi berdasarkan pendekatan ini adalah agroforestry dan sistem usaha tani konservasi.

Walaupun sistem agroforestry (wanatani) banyak ragamnya, satu hal yang sama adalah bahawa penanaman pohon dilakukan bersamaan dengan berbagai jenis tanaman pertanian. Agar keberhasilan sistem ini tinggi, kombinasi jenis serta pola tanaman harus lestari secara ekologi dan ekonomi sehingga pemasaran hasil tanaman pertanian harus dianalisa secara cermat dan teliti. Pasar kayu (pulp) lokal dan industri juga dikaji secara seksama karena faktor ini menetukan kelayakan penanaman pohonnya. Yang terpenting adalah bahwa sistem agroforestry merupakan sistem yang permanen dan lestari sehingga hak atas lahan untuk jangka panjang harus jelas karena sistem ini mempunyai rotasi yang lama.

Hampir serupa dengan agroforestry usaha tani konservasi diatur melalui pengaturan pola tanam, penambahan bahan organik dengan daur ulang sisa panen dan gulma, serta penerapan budidaya lorong. Penerapan teknik ini akan memberikan pengaruh positif terhadap produktivitas tanah berupa meningkatnya ketersediaan unsur hara dan bahan organik tanah serta menurunnya kemasaman tanah. Teknik ini juga dapat menekan laju erosi tanah, serta mengurangi biaya pembuatan teras dan galengan.

Salah satu contoh usaha tani konservasi dengan budidaya lorong adalah penanaman rumput raja atau rumput gajah sebagai tanaman pagar dan rotasi jagung-kedelai atau jagung-jagung sebagai tanaman lorong bersama-sama dengan tanaman kehutanan. Rumput raja selain sebagai pupuk hijau juga dapat menekan laju erosi. Sistem ini juga merupakan tindakan konservasi vegetatif yang baik karena dapat menutupi permukaan tanah sepanjang tahun. Menjadi lebih baik lagi jika sisa tanaman juga dikembalikan sebagai tambahan bahan organik tanah. Bahan organik yang tinggi tidak hanya akan menambah nutrisi tanah, tetapi juga dapat berperan sebagai pengikat air dan meningkatkan daya infiltrasi tanah, mengurangi erosi dan aliran permukaan pada saat hujan turun.

Untuk mengatasi invasi alang-alang, setelah dibajak, areal harus dinaungi dengan jenis tanaman cepat tumbuh yang cepat membentuk tajuk tertutup. Setelah beberapa tahun, tegakan dapat dijarangi dan jenis-jenis yang toleran terhadap naungan seperti kopi atau bahkan lada dapat ditanam. Pohon-pohon naungan tersebut dapat dimanfaatkan kayunya kayu bakar atau untuk pulp.

Pemilihan jenis tanaman juga sangat menentukan keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan kritis. Dalam hal ini perlu dicari tanaman yang mampu beradaptasi terhadap keadaan lingkungan yang memiliki kesuburan yang rendah dan ketersediaan air terbatas. Tanaman tesebut juga harus bisa tumbuh cepat sehingga bisa menutup tanah dalam waktu yang tidak lama, memiliki resistensi yang tinggi terhadap kebakaran serta mampu berproduksi secara optimal sehingga dapat diharapkan sebagai sumber pendapatan di masa mendatang. Berdasarkan percobaan Litbang Kehutanan di Tapanuli Selatan, salah satu contoh jenis pohon yang mampu bertahan pada kondisi ini adalah Acacia crassicarpa.

Karena penanganan tanah kritis tersebut berhubungan erat dengan masalah kemiskinan penduduknya, tingginya kepadatan populasi, kecilnya luas lahan, kesempatan kerja terbatas dan lingkungan yang terdegradasi, maka kajian kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat (building capacity) sangat diperlukan untuk keberhasilan kegiatan rehabilitasi ini***


Aswandi

Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli

Tidak ada komentar: