28 September 2008

Rehabilitasi Lahan Kritis di Daerah Tangkapan Air Danau Toba : Apa yang Perlu Kita Mulai?

Gambar 1. Peta Penutupan Lahan DTA Danau Toba
Perhatian terhadap kelestarian fungsi ekosistem Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba telah dimulai sejak lama bahkan sejak zaman kolonial. Berbagai upaya rehabilitasi yang telah dilakukan melalui penanaman kembali kawasan hutan (reboisasi) dan penghijauan pada lahan masyarakat menunjukkan berbagai tingkat keberhasilan dan kegagalan.
Berdasarkan interpretasi citra satelit pada tahun 1985 dan 2005 diindikasi terjadi pengurangan penutupan hutan ± 16 ribu hektar dan peningkatan lahan kritis berupa padang alang-alang sebesar ± 17 ribu hektar selama periode tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir luas lahan terdegradasi semakin meningkat dengan masih terjadinya penebangan liar, pembukaan lahan hutan, intensitas kebakaran hutan dan lahan yang tinggi dan praktek pengolahan tanah yang tidak lestari.
Belajar dari berbagai keberhasilan dan kegagalan program rehabilitasi di DTA Danau Toba, diidentifikasi bahwa rendahnya partisipasi dan kepedulian masyarakat merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan.
Keberhasilan berbagai program rehabilitasi dapat dipertanyakan jika aspek peningkatan kepedulian dan partisipasi masyarakat merupakan aspek yang dinilai. Dalam prakteknya, rendahnya kepedulian masyarakat dalam menjaga kelestarian ekosistem hutan tercermin dari rendahnya kepedulian memelihara tanaman rehabilitasi dan pencegahan dan penanggulangan kebakaran, pembukaan lahan dengan pembakaran yang tidak hati-hati, dan luasnya lahan tidur.
Saat ini terdapat tidak kurang 48 ribu hektar lahan tidur dan kritis di Kabupaten Samosir atau setara dengan 77,4% luas lahan kering di wilayah tersebut. Luasnya lahan tidur dan kritis ini berbanding lurus dengan kemiskinan masyarakat. Pada tahun 2000 terdapat 23 % penduduk Samosir yang berada di bawah garis kemiskinan dengan lebih dari 90% menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Jumlah ini meningkat menjadi 41 % pada tahun 2004 atau naik sekitar 18 % (20.070 jiwa) selama periode tersebut. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya tekanan terhadap kelestarian hutan alam yang tersisa.
Apa Yang Perlu Kita Mulai
Untuk meningkatkan fungsi ekosistem Danau Toba sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan maka perlu dilakukan inisiasi dukungan bagi penanaman pohon pada lahan kritis berbasis masyarakat dan peningkatan inisiatif peningkatan kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian ekosistem DTA Danau Toba melalui pelatihan, penggalian teknik budidaya/ rehabilitasi lahan, serta alternatif pemberdayaan masyarakat lainnya.
Beberapa kegiatan yang dapat kita mulai lakukan antara lain :
a. Penanaman pohon asuh (adoption/ memorial trees)
Melalui penanaman berbagai jenis (tanaman kehutanan dan Multipurpose Trees) dengan pola pohon asuh diharapkan berbagai pihak yang peduli memberikan donasi terhadap pohon yang ditanamnya hingga tanaman tersebut mampu bertahan hidup. Donasi tersebut akan dialokasikan kepada masyarakat sebagai insentif pemeliharaan tanaman tersebut. Dalam jangka panjang pohon yang ditanam tersebut dapat menjadi pohon kenangan (memorial trees) serta areal penanaman dapat dijadikan salah satu demo plot rehabilitasi lahan. Masyarakat Batak Toba yang berada di perantauan dapat mendonasikan sekurangnya satu pohon bagi pemulihan Pulau Samosir kampung halamannya.

b. Pelatihan pembuatan kompos
Pelatihan pembuatan kompos bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pupuk kimiawi (non-organik). Dengan kondisi tanah berpasir dan berbatu, pemakaian pupuk kimiawi tidak efisien karena kemampuan ikat tanah yang rendah, selain itu harga pupuk yang mahal sangat memberatkan masyarakat. Pupuk kompos yang dibuat diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan tidur/kritis sehingga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung mengurangi ketergantungan terhadap hutan dan kawasan hutan.

c. Pelatihan pembuatan persemaian
Dengan luasnya lahan kritis yang harus direhabilitasi, kebutuhan terhadap bibit tanaman sangat tinggi. Hingga saat ini, sebagian besar kebutuhan bibit tanaman rehabilitasi di DTA Danau Toba (terutama Samosir) dipenuhi dari luar kawasan ini. Kondisi ini mengakibatkan biaya tinggi dalam transportasi serta bibit stess akibat perjalanan jauh. Dengan pembangunan inisiatif persemaian sederhana masyarakat diharapkan sebagian kebutuhan bibit tanaman rehabilitasi dipenuhi dari masyarakat sendiri. Hal ini secara langsung akan menjadi alternative sumber pendapatan masyarakat. Pelatihan persemaian pada generasi muda (murid SD, SMP dan SMA) juga akan meningkatkan kepedulian mereka terhadap lingkungannya. Sekolah juga diperkirakan dapat menjadi salah satu sentra pengadaan bibit tanaman rehabilitasi.

d. Kampanye lingkungan
Kampanye lingkungan dilakukan terhadap murid SD, SMP dan SMA melalui pendidikan lingkungan (environmental education), pemutara film, games dan lainnya. Lokasi kegiatan adalah sekolah-sekolah di Kabupaten Samosir. Pemahaman dan kepedulian yang telah ditanamkan sejak diri diharapkan dapat membantu pemulihan Danau Toba dalam jangka panjang***
Aswandi
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli

25 September 2008

BERTANAM GAHARU :Alternatif Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Hutan

Oleh : Aswandi

Sudah gaharu, cendana pula! Sudah tahu, bertanya pula! Peribahasa tersebut sangat sering kita dengar sehari-hari. Akan tetapi tidak banyak dari kita yang tahu apakah gaharu tersebut dan darimana ia dihasilkan. Gaharu sebenarnya merupakan substansi aromatic (aromatic resin) yang berbentuk gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam kayu tertentu. Timbulnya gaharu ini bersifat spesifik, dimana tidak semua pohon dapat menghasilkan substansi aromatik ini.

Jenis-jenis pohon yang biasanya menghasilkan gaharu adalah pohon-pohon yang termasuk famili Thymelaeaceae yakni Gonystyloidae (antara lain Gonystylus spp.), Aquilarioideae (Aquilaria spp.), Thymelaeoidae (Enklea spp, serta Wikstroemia spp.), dan Gilgiodaphnoidae. Bahkan ada ahli yang berpendapat bahwa jenis Dalbergia parvifolia (famili Leguminoceae) dan Excoccaria agolocha (Euphorbiaceae) juga dapat menghasilkan gaharu. Akan tetapi jenis yang diketahui memiliki potensi penghasil gaharu tertinggi adalah Aquilaria malaccensis atau dikenal dengan nama daerah Karas, Alim, Garu, Kompe dan lain-lain.

Penyebaran alami marga Aquilaria sangat luas mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Thailand, Kamboja, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial) yang terdapat hampir di seluruh Nusantara, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Akan tetapi seiring dengan maraknya illegal logging dan perburuan gaharu, pohon penghasil gaharu saat ini sangat jarang ditemui di hutan bahkan telah termasuk jenis yang hampir punah oleh CITES.

HHBK Andalan
Gaharu dikenal karena memiliki aroma yang khas sehingga digunakan untuk berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio, obat, dan sebagainya. Popularitas dan tingginya harga gaharu sudah dikenal lama. Saat ini, harga gaharu kualitas super dapat mencapai Rp 5 juta per kilogram, bahkan dapat mencapai US $ 10.000 per kg di tingkat pengguna akhir. Di tingkat pengumpul di Kalimantan harga gaharu dapat mencapai Rp. 600.000,- per kg.
Kontribusi gaharu terhadap perolehan devisa juga menunjukkan grafik yang terus meningkat. Menurut BPS, nilai ekspor gaharu dari Indonesia tahun 1990-1998 adalah sebesar US $ 2 juta, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi US $ 2,2 juta. Namun sejak 2000 sampai akhir 2002, ekspor menurun menjadi 30 ton dengan nilai US $ 600.000. Penurunan ini disebabkan oleh semakin sulitnya gaharu ditemukan.

Mempertimbangkan harganya yang sangat istimewa bila dibandingkan hasil hutan lainnya, gaharu dapat dikembangkan sebagai salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) andalan alternatif untuk penyumbang devisa sektor kehutanan selain dari hasil hutan kayu.

Budidaya Gaharu : Peningkatan Kelestarian Hutan
Nilai jual gaharu yang tinggi ini seharusnya dapat mendorong masyarakat untuk membudidayakannya. Selama ini gaharu yang dipanen umumnya berasal dari pohon gaharu yang tumbuh alami di hutan. Jika dahulu masih terdapat kearifan tradisional dimana untuk menjamin kelestarian pohon induknya, hanya bagian yang mengandung gaharunya saja yang ditoreh tanpa menebang pohonnya, saat ini pemanenan dilakukan dengan langsung menebang pohonnya. Akibatnya semakin sedikit pohon-pohon induk gaharu yang terdapat di alam.
Walaupun tidak seorangpun yang meragukan prospek ekonominya, sejauh ini upaya peremajaan dan budidaya gaharu belum begitu dikenal. Bukan tidak ada penelitian yang menunjukkan besarnya peluang pengembanganya, akan tetapi akibat lemahnya publikasi dan tindak lanjut terhadap hasil penelitian tersebut menyebabkan usaha pengembangan gaharu sangat jauh tertinggal dibandingkan jenis pohon lainnya, misalnya, jati emas atau jati super yang didengung-dengungkan akan memberikan nilai ekonomi yang cukup besar sehingga penanaman jenis ini mewabah di mana-mana, walaupun kemudian penanaman jenis ini tidak direkomendasikan.

Penelitian Litbang Kehutanan dan lembaga riset lainnya menunjukkan bahwa gaharu yang timbul disebabkan oleh terjadinya infeksi yang dialami pohon gaharu tersebut. Para peneliti menduga terdapat tiga hal penyebab proses infeksi, yaitu (1) infeksi jamur seperti Fusarium oxyporus, F. bulbigenium dan F. laseritium., (2) perlukaan dan (3) proses non-phatology. Terjadinya luka pada pohon dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang akan menghasilkan gaharu.

Penanaman dapat dilakukan pada lahan terbuka dengan sistem monokultur, tetapi lebih disarankan dibawah tegakan seperti Sengon, Petai, Gamal, dan Mahoni baik dengan sistem tumpang sari maupun campuran. Pohon gaharu umumnya dapat ditanam pada lokasi dengan ketinggian 5 – 700 mdpl dengan curah hujan 6 bulan dan sepanjang tahun lebih disukai.

Tanaman gaharu dapat dipanen setelah berumur 9-10 tahun. Setelah pohon berdiameter 10 cm (kira-kira pada umur 6 tahun), proses inokulasi dapat dilakukan dengan cara (1) melukai bagian batang pohon, (2) menyuntikkan mikroorganisme jamur Fusarium, (3) menyuntikkan oli dan gula merah, atau dengan (4) memasukan potongan gaharu ke dalam batang tanaman. Produksi gubal gaharu mulai terbentuk setelah satu bulan penyuntikan dengan tanda-tanda pohon tampak merana, dedaunan menguning dan rontok, kulit batang rapuh, jaringan kayu berwarna coklat tua dan mengeras, dan jika dibakar akan mengeluarkan aroma khas mirip kemenyan. Gaharu dapat dipanen 3 – 4 tahun kemudian.

Jumlah produksi gubal gaharu dapat beragam tergantung kualitas pohon dan tempat tumbuhnya dengan rata-rata 2 kg per pohon. Dengan jarak tanam 3 x 3 m atau 1100 pohon per ha, maka akan dihasilkan sekitar 2 ton gaharu/ha. Jika kita asumsikan bahwa gaharu yang dihasilkan hanya kualitas rendah dengan harga Rp 250 - 300 ribu per kilo maka akan diperoleh pendapatan Rp 550 - 660 juta per ha. Bagaimana jika dihasilkan tersebut gaharu kualitas super dengan harga Rp 600 ribu pada pedagang pengumpul ? Suatu jumlah yang sangat fantastis untuk usaha lebih kurang 10 tahun.

Terdapat berbagai pilihan untuk menggalakkan budidaya gaharu, antara lain melalui (1) program hutan rakyat gaharu, dan (2) program hutan kemasyarakatan. Dalam program hutan rakyat, masyarakat diharapkan secara swadaya melakukan penanaman gaharu pada lahannya sendiri terutama pada lahan kosong (tidak produktif). Agar masyarakat mau menanam gaharu, selain informasi tentang peluang dan teknik pengembangan gaharu, masyarakat juga harus diberikan insentif, seperti pengadaan bibit dan inokulasi mikroorganisme penyebab gaharu. Pengadaan bibit dan inokulasi dapat dilaksanakan oleh pemerintah yang kemudian disalurkan kepada petani secara cuma-cuma atau dengan kredit. Dalam prakteknya pengembangan hutan rakyat gaharu ini dapat dikombinasikan dengan tanaman semusim atau tahunan.

Sedangkan penggalakan program hutan kemasyarakatan didasarkan pada paradigma pembangunan kehutanan community based development yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem hutan kemasyarakatan, masyarakat diperbolehkan menanam gaharu bersama-sama dengan tanaman pertanian dan kehutanan lainnya pada lahan hutan, salah satunya dengan sistem agroforestry.

Berbagai praktek agroforestry menunjukkan bahwa sistem ini memberikan dampak ganda berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat di satu sisi dan kelestarian sumberdaya hutan dan lahan disisi lain. Selain memperoleh kesejahteraan dari tanaman gaharu dan tanaman kehutanan, masyarakat juga dapat memanfaatkan lahan diantara tanaman tersebut untuk tanaman semusim. Teknik ini memberikan pengaruh positif terhadap produktivitas tanah berupa meningkatnya ketersediaan unsur hara dan bahan organik serta menurunnya kemasaman tanah. Teknik ini juga dapat menekan laju erosi tanah sehingga juga cocok untuk menanggulangi lahan kritis.

Adanya peningkatan kesejahteraan dari budidaya gaharu ini akan mengurangi tekanan masyarakat terhadap sumber hutan dalam bentuk illegal logging dan perambahan lahan bahkan masyarakat secara sadar akan mempertahankan setiap jengkal hutan dari kerusakan, apapun penyebabnya. Tentu saja agar program penanaman gaharu ini berhasil perlu didukung dengan kelembagaan dan peraturan yang jelas, serta dukungan semua pihak. Jadi mengapa kita tidak tanam gaharu? ***

PELESTARIAN HUTAN DALAM UPAYA MENJAGA HABITAT DAN DAMPAK LINGKUNGAN DAN DAMPAK LINGKUNGAN

Oleh : Ahmad Suryadin, Aswandi dan Cut Rizlani Kholibrina

Selama beberapa tahun terakhir, berbagai media cetak dan elektronik nasional melaporkan peristiwa banjir besar yang menggenangi dan menghancurkan beberapa kabupaten di NAD dan Sumatera Utara. Ketika banjir bandang menghancurkan kawasan Langkat Sumatera Utara, meluapnya Sungai Tamiang yang membawa ribuan kubik kayu dan pepohonan yang tercerabut di Aceh Tamiang, banjir bandang di Meukek Aceh Selatan dan banyak peristiwa banjir lainnya yang menewaskan ratusan warga yang tak berdosa serta kerugian finansial dan moril yang sangat besar, bangsa ini hanya bisa menyatakan prihatin, sedih, kasihan, lalu menyatakan belasungkawa.

Namun, serangkaian peristiwa bencana alam yang terjadi berulang-ulang setiap musim hujan tak pernah menjadi pelajaran untuk berupaya memperbaiki kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab utama timbulnya bencana itu. Hingga kini tidak ada upaya mencegah atau memperbaiki kerusakan kawasan hutan di atasnya yang sudah jelas merupakan penyebab utama bencana itu. Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan ekosistem penyangga hampir di sebagian besar NAD dan sebagian Sumatera Utara sudah lama dirusak. Diyakini, banjir bandang itu terjadi akibat maraknya penebangan liar dan perambahan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang telah merubah penutupan kawasan ini hingga mencapai 42.000 hektar.

Kerusakan KEL
Kawasan Ekosistem Leuser merupakan paru-paru dunia dan merupakan hulu beberapa daerah aliran sungai yang berfungsi sebagai penyimpan air di NAD dan Sumatera Utara. Hutan Leuser juga menyediakan tempat-tempat resapan air berbentuk hutan gambut dan rawa-rawa seperti Rawa Singkil-Trumon, Rawa Kluet, dan Rawa Tripa sebagai tempat penampungan air sebelum dialirkan ke sungai dan membentuk daerah tangkapan air.
Namun penebangan baik legal maupun ilegal pada kawasan ini mengakibatkan perubahan penutupan vegetasi, kerusakan habitat dan tidak berfungsinya jasa-jasa lingkungan lainnya. Jika tahun 1985 yang rusak masih 229.570,27 hektar dan yang tidak lagi berupa hutan atau gundul 27.410,54 hektar dari 2.570.652,78 hektar luas seluruh hutan KEL, di tahun 2000 yang rusak sudah mencapai 653.482,17 hektar dan yang gundul 262.564,67 hektar.

Terdapat dua bentuk penebangan liar yang terjadi di kawasan ini. Pertama dan yang paling merusak serta memusnahkan keanekaragaman hayati adalah kegiatan konversi hutan, terutama menjadi areal perkebunan kelapa sawit dan pemanfaatan lahan lainnya di luar kehutanan. Sekalipun ilegal, sering kali konversi diakui sebagai kegiatan yang sah sehingga dilakukan secara terangterangan. Skenario yang terjadi biasanya dengan dasar surat permohonan (selain dari insentif finansial) perusahaan menebang hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Penurunan penutupan vegetasi pada ekosistem ini mengakibatkan rusaknya kemampuan penyerapan air tanah oleh pohon hutan sehingga curah hujan tidak mampu diserap oleh tanah dan aliran air permukaan hanya berfungsi untuk mencuci hara yang ada di lapisan tanah bagian atas sehingga peristiwa banjir sangat mungkin terjadi. Hilangnya hutan yang merupakan habitat jutaan flora dan fauna mengakibatkan rantai makanan rusak sehingga mengakibatkan kepunahan spesies. Karena habitat alaminya terganggu, sebagian fauna besar seperti gajah dan harimau sumatera turun ke pemukiman masyarakat mencari mangsa.

Tidak dapat dipungkiri telah terjadi perubahan penutupan lahan yang sangat serius pada kawasan lindung di NAD. Dengan luas ± 1,8 juta ha atau 39,27% luas daerah NAD (bahkan mencapai persentase > 80% pada beberapa kabupaten seperti Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Tenggara), gangguan terhadap kawasan lindung ini telah mengganggu fungsi kawasan sebagai sistem penyangga kehidupan seperti pelindungan erosi dan banjir, sumber air dan udara bersih, dan sumber sandang dan pangan di NAD. Akan tetapi, berapa angka pasti laju kerusakan dan luas kawasan hutan yang rusak akibat penebangan liar dan perambahan belum diketahui dengan pasti akibat belum terlaksananya kegiatan inventarisasi hutan terutama pada tingkat kabupaten atau data dan informasinya tidak tersebar dengan baik.

Rencana Kerja
Rencana kerja penanganan dan pencegahan banjir di masa depan harus diarahkan pada pengelolaan DAS yang baik dengan mengurangi kerusakan hutan dan meningkatkan penutupan vegetasi melalui pengembangan program-program yang berdampak positif bagi pemberdayaan masyarakat. Keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan dengan jenis yang tepat (terutama memiliki akar tunjang dan serabut yang baik) dan pemberian motivasi kepada masyarakat untuk menanam tanaman perkebunan dan kehutanan yang potensial akan sangat menentukan upaya pemulihan DAS.

Disahkannya UUPA yang bernuasan ’hijau’ dengan kewajiban pemerintah Aceh untuk menjaga kelestarian sumberdaya alamnya dan adanya larangan untuk mengeluarkan izin pengusahaan (penebangan) hutan pada Kawasan Ekosistem Leuser yang dipertegas oleh misi gubernur NAD yang baru terpilih untuk meninjau kembali Hak Pengelolaan Hutan dengan menciptakan sistem pengelolaan hutan berbasis masya-rakat yang lestari harus dijadikan tonggak penting bagi pengelolaan lingkungan hidup.

Kita menyadari bahwa untuk menghentikan penebangan liar dibutuhkan pendekatan yang komprehensif mulai dari penegakan hukum, penataan pasar dan pemenuhan kebutuhan kayu dari alternatif usaha kehutanan yang lestari. Apabila selama ini kita mengandalkan Hak Pengusahaan Hutan (Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu) untuk memenuhi kebutuhan kayu yang terbukti tidak lestari dan tidak berpihak kepada masyarakat, tidak ada salahnya kita mulai menggali rezim-rezim pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). Tidak seperti HPH yang padat modal dan skala luas, PHBM dapat memiliki luasan yang kecil, padat karya berupa partisipasi aktif masyarakat yang tentu berpihak pada kesejahteraan masyarakat.

Akan tetapi PHBM menuntut sistem kelembagaan yang jelas terutama perangkat aturan hukum yang tegas, mekanisme pengawasan yang baik, birokrasi yang efisien serta tata niaga yang baik. Kita sadari bersama ketidakjelasan telah menjadi pangkal petaka kerusakan hutan selama ini. Apabila kita belajar dari pengalaman, pemberian hak-hak pengelolaan hutan skala kecil, izin pemanfaatan kayu (IPK) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah pada masa lalu telah mengakibatkan ketidaklestarian hutan.

Perhatian terhadap pengembangan hutan tanaman baik pada hutan rakyat maupun hutan negara, serta pengembangan hasil hutan bukan kayu harus segera dimulai. Mengapa? Mulai tahun 2009 pemerintah akan menetapkan kebijakan penghentian penggunaan bahan baku kayu alam untuk industri pulp dan kertas serta soft landing produksi kayu dari hutan alam yang telah dimulai beberapa tahun terakhir. Selain hasil kayu, masyarakat juga dapat membudidayakan rotan, gaharu, pemanenan getah tusam (gondorukem), tanaman obat, kemenyan, lebah madu, sarang walet, dan lain-lain.

Selain hasil hutan kayu dan bukan kayu, jasa lingkungan dapat digali sebagai sumber pembiayaan daerah. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism) melalui penjualan jasa karbon (carbon trade) dari kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan sesungguhnya memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Selain dapat menyerap karbon, kegiatan ini juga memberikan efek positif terhadap keanekaragaman hayati, stabilitas tanah, kualitas air dan udara, menciptakan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi lokal melalui pengembangan industri hasil hutan bukan kayu.****

Cut Rizlani Kholibrina, S.Hut, M.Si
Staf Perencanaan pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Selatan

BANJIR KRUENG MEUKEK : Dampak Perubahan Penutupan Lahan

Oleh : Cut Rizlani Kholibrina

Berbagai media cetak dan elektronik beberapa saat lalu melaporkan telah terjadi banjir yang menggenangi dan menghancurkan beberapa desa di Meukek Kecamatan Labuhan Haji Aceh Selatan serta memutus perhubungan darat antara Tapaktuan dan Meulaboh. Tentu sangat besar kerugian finansial dan moril akibat bencana tersebut.

Bencana banjir sesungguhnya merupakan dampak dari terganggunya suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Dengan luasan DAS yang tetap, faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika air pada DAS tersebut adalah curah hujan (input), penyerapan dan daya simpan tanah (proses), dan aliran sungai ke laut (output). Dinamika ketiga faktor inilah yang akan menentukan keadaan kekeringan, banjir atau normalnya suatu kawasan.

Pendangkalan
Kecuali dalam kondisi tertentu (misalnya badai dan topan), curah hujan relatif tidak berubah dalam jangka panjang sehingga suatu fenomena banjir lebih ditentukan oleh terganggunya daya serap dan simpan tanah serta aliran sungai ke laut atau danau. Perubahan daya serap dan simpan tanah merupakan dampak dari perubahan penutupan lahan dan perubahan tersebut sesungguhnya adalah gejala (sympton) dari berbagai permasalahan penanganan lingkungan hidup selama ini.

Tidak dapat dipungkiri telah terjadi perubahan penutupan lahan yang sangat serius pada Sub DAS Krueng Meukek yang berhulu di dua tempat yakni Gunung Meukek (1520 mdpl) dan Gunung Meukek Sawang (1242 mdpl). Dengan panjang 8,5 km, sebagian besar wilayah DAS telah berubah penutupan dari perkebunan pala (Myristica fragrans) dan tanaman perkebunan lainnya yang dulunya banyak ditanam di kiri kanan sungai menjadi semak belukar. Kurangnya upaya-upaya pengembangan jenis ini terutama lemahnya tata niaga dan penanganan hama penyakit mengakibatkan salah satu komoditas primadona Aceh Selatan ini tidak dipelihara lagi atau diganti dengan tanaman lain oleh masyarakat sehingga menjadi belukar.

Penebangan liar pada hulu DAS juga telah mengakibatkan keterbukaan lahan dan penurunan daya ikat tanah oleh tanaman (hutan) sehingga mengakibatkan erosi/longsor yang mengakibatkan besarnya massa air yang masuk ke sungai. Perubahan vegetasi di kiri kanan sungai telah mengakibatkan erosi sempadan sungai hingga 50 m sehingga lebar awal 50-75 m menjadi 75-100 meter. Erosi di hulu dan sempadan sungai ini mengakibatkan pendangkalan sungai di bagian hilir dan pendangkalan pada beberapa tempat mengakibatkan perubahan arah aliran sungai. Perubahan arah dan luapan air sungai inilah yang mengakibatkan banjir bandang di Meukek akhir-akhir ini.

Rencana Kerja
Rencana kerja penanganan dan pencegahan banjir di masa depan harus diarahkan pada pengelolaan DAS yang baik. Rusaknya daya ikat dan simpan air tanah dan kurangnya vegetasi pada DAS tersebut harus diperbaiki. Keberhasilan kegiatan-kegiatan rehabilitasi lahan dengan jenis yang tepat (terutama memiliki akar tunjang dan serabut yang baik) dan pemberian motivasi kepada masyarakat untuk menanam tanaman-tanaman perkebunan dan kehutanan akan sangat menentukan upaya pemulihan DAS.

Karena pala telah memiliki sejarah emas di Aceh Selatan, tidak ada salahnya mengembalikan kejayaan jenis ini. Masalah hama dan penyakit yang sepertinya tidak tertangani sehingga mengurangi motivasi masyarakat membudidayakan jenis ini harus mulai dipecahkan. Upaya-upaya sosialisasi penanganan hama dan penyakit (termasuk budidaya) harus diupayakan pada banyak kesempatan.

Sosialisasi budidaya pertanian dengan memperhatikan teknik konservasi tanah dan air juga harus diupayakan. Pelatihan agroforestry terutama dengan jenis-jenis yang telah memiliki jejak rekam yang baik seperti rotan, kemenyan, pala, karet dan sebagainya akan mendorong masyarakat mengembangkan perkebunan multistata (tajuk) yang sangat baik dapat menangkap dan menyimpan air hujan sehingga air hujan lebih lama tersimpan di tanah sebelum dialirkan ke sungai.

Penebangan liar harus dicegah melalui penegakan hukum dan pemberdayaan masyarakat. Untuk mengurangi pendangkalan sungai, pada beberapa tempat dapat dilakukan pengerukan dengan alat berat.***

Cut Rizlani Kholibrina, S.Hut, M.Si
Staf pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Selatan

Perbandingan Metode Tree Sampling dan Plot Sampling dalam Pendugaan Potensi Hutan Tanaman Ekaliptus di Sumatera Utara

Oleh : Aswandi[1] dan Joko Prayitno[2]

Abstraksi
Inventarisasi hutan dilakukan untuk mengetahui keadaan dan potensi hutan sebagai dasar perencanaan pengelolaan hutan. Kegiatan inventarisasi hutan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan sensus dan penarikan contoh (sampling). Cara sampling dapat dilaksanakan dalam waktu yang jauh lebih cepat dan efisien. Salah satu metode inventarisasi yang sedang dikembangkan adalah metode tree sampling yang lebih praktis, mudah dan sederhana. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efisiensi dan efektivitas metode tree sampling terhadap metode plot sampling dalam pendugaan dimensi tegakan ekaliptus di Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode tree sampling 12 pohon memiliki nilai efisiensi relatif tertinggi dalam pendugaan volume, luas bidang dasar dan jumlah pohon tegakan.

Kata kunci : tree sampling, inventariasi, efisiensi, hutan tanaman, Eucalyptus sp.
[1] Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera Departemen Kehutanan
di Pematangsiantar. Email :
andiasw@yahoo.com
[2] Alumni Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Simalungun di Pematangsiantar

ADA APA DENGAN TPTI?

Oleh : Aswandi

Salah satu pertanyaan yang selalu mengemuka apabila kita berbicara tentang kelestarian hutan adalah apa yang menyebabkan hutan produksi yang dikelola HPH banyak yang rusak atau memiliki produktivitas rendah.

Berbagai jawaban tentang penyebab kerusakan dapat kita peroleh seperti illegal logging, kebakaran hutan, perambahan, penegakan hukum yang lemah, tidak dilakukannya pembinaan tegakan dan sebagainya.

Banyaknya hutan bekas tebangan yang rusak, tentu saja membuat para rimbawan gerah. Kegerahan tersebut terlihat dengan semakin seringnya TPTI diusik-usik ‘kemapanannya’ sebagai sistem silvikultur di hutan alam. Ada yang beranggapan tidak cocok lagi diterapkan pada hutan bekas tebangan terutama dengan produktivitas rendah, tidak punya dasar ilmiah yang cukup sehingga perlu direvisi, dan berbagai alasan lainnya.

Sesungguhnya apa yang salah dengan TPTI? Konsepnya yang salah atau pelaksanaannya. Apabila kita berpikir pelaksanaan yang salah akibat konsep yang salah, maka tentu saja kita harus segera merevisi atau mengganti konsep tersebut. Tetapi pelaksanaan yang salah juga dapat diakibatkan oleh berbagai eksternalities seperti lemahnya pengawasan, penegakan hukum dan berbagai faktor lainnya yang saling terkait. Kompleks!

Bagi yang berpikir konsep TPTI perlu diganti, telah muncul berbagai sistem baru seperti TJTI, TPTJ dan terbaru TPTII yang berbeda dengan TPTI. Bagi yang masih memandang TPTI tetap sesuai, juga telah muncul pemikiran untuk merevisi sistem tersebut, terutama rangkaiannya yang panjang dengan yang lebih sederhana.

Memang (telah kita sadari) rangkaian tahapan TPTI belum didasari pertimbangan ilmiah yang cukup, sehingga efektivitas tahapan TPTI sering diperdebatkan. Sering muncul pertanyaan perlu tidaknya pengkayaan, pembebasan dan penjarangan.
Belum lagi akses yang sulit pada hutan rawa setelah tebangan terutama setelah jalan cabang (rel) dibongkar mengakibatkan hampir tidak ada kegiatan pembinaan setelah 2 tahun setelah penebangan.

Penyederhanaan
Menggantikan TPTI dengan system silvikultur yang baru atau merevisinya (menyederhanakan)? Dengan mempertimbangkan resiko ekologis yang cukup besar apabila menerapkan sistem silvikultur yang relatif baru, rasanya revisi (penyederhanaan) rangkaian TPTI merupakan hal yang layak dipertimbangkan.

Aksesibilitas yang relatif sulit pada hutan rawa gambut merupakan salah satu pembatas kegiatan pembinaan tegakan setelah jalan rel dibongkar. Oleh karena itu kegiatan pembinaan tegakan seperti pembebasan, pengkayaan dan penjarangan sebaiknya segera dilakukan setelah penebangan.

Sulitnya mengetahui kinerja kegiatan perapihan karena kondisi tegakan masih cukup terbuka dan kemungkinan terduplikasi dengan kegiatan pembebasan maka tahapan ini diintegrasikan dengan kegiatan ITT sehingga ITT dapat dimajukan dari Et+2 menjadi Et+1 sehingga pengadaan bibit lebih segera dilakukan dan penanaman pengkayaan/ rehabilitasi pada Et+2.

Rekomendasi
  • Untuk meningkatkan kinerja pengawasan kegiatan pembinaan maka perlu diperkuat kembali peran dan tanggung jawab berbagai pihak pemangku kebijakan.
  • Penyederhanaan tahapan pembinaan tegakan dilakukan dengan mengintegrasikan kegiatan perapihan, pembebasan dengan ITT sehingga kegiatan berikutnya dilakukan lebih awal.
  • Rangkaian TPTI (pembinaan tegakan) yang disederhanakan menjadi : 1. ITT terintegrasi dengan pembebasan dan penjarangan (Et+1). 2. Pengadaan bibit (Et+1). Penanaman pengkayaan/rehabilitasi (Et+2). Penjarangan lanjutan bersifat opsional.Kegiatan pengkayaan/rehabilitasi lebih diarahkan pada areal terbuka dengan jenis yang tepat.

Estimation Model of Stem Biomass Eucalyptus grandis at Forest Planting PT. Toba Pulp Lestari Sector Aek Nauli Simalungun North Sumatra

By : Aswandi dan/and Bonifasius Sipayung

Abstract
The objective of the study was to quantify stem biomassa and develop estimation model of above ground biomass for Eucalyptus grandis Hill ex Maiden at Aek Nauli Simalungun North Sumatra. Result of measuring tree dimension of 21 stem samples showed average of diameter,height, and stem volume for 1 – 7 year old plantation were 25,77 cm, 23,67 m and 0,434 m3, respectively and stem fresh weight 437,17 kg. Based on water content 92,48% was calculated average stem biomass at 7 year old plantation 227,10 kg/tree and stand biomassa 230.960,7 kg/ha or 231 ton/ha. Allometrik equation for biomassa estimation was built based on regression analysis and expressed as :
a.
b. B = 590,96(1 – e -1,177 V)
c. B = 0,717 - 12,682 A + 14,084 A2 – 1,084 A3
where B = biomassa (kg), D = diameter (cm), V = volume (m3) and A = age (year).

Keywords : biomass, allometrik, model, diameter, volume, Eucalyptus grandis.

MODEL PENDUGAAN BIOMASSA BATANGEucalyptus grandis PADA HUTAN TANAMAN PT. TOBA PULP LESTARI SEKTOR AEK NAULI SIMALUNGUN SUMATERA UTARA

Abstrak
Penelitian ini bertujuan menghitung besarnya biomassa batang dan membangun model penduga biomassa di atas tanah jenis Eucalyptus grandis Hill ex Maiden di Aek Nauli Simalungun Sumatera Utara. Hasil pengukuran dimensi pohon dan berat batang terhadap 21 pohon contoh dari kelas umur 1 – 7 tahun menunjukkan bahwa rata-rata diameter, tinggi dan volume batang pohon contoh pada umur 7 tahun adalah 25,77 cm, 23,67 m dan 0,434 m3 berturut-turut dengan berat basah batang 437,17 kg. Dengan rata-rata kadar air batang sebesar 92,48% diperoleh rata-rata biomassa batang pohon pada umur tanaman 7 tahun sebesar 227,10 kg. Besarnya rata-rata biomassa tegakan adalah sebesar 230.960,7 kg/ha atau 231 ton/ha. Rumus alometrik pendugaan biomassa disusun berdasarkan analisis regresi :
a.
b. B = 590,96(1 – e -1,177 V)
c. B = 0,717 - 12,682 A + 14,084 A2 – 1,084 A3
dengan B = biomassa (kg), D = diameter (cm), V = volume (m3) dan A = umur tanaman (tahun).

Kata kunci : biomassa, allometrik, model, diameter, volume, Eucalyptus grandis.

Analytical System Model of Growth Dynamic and Yield Regulation for Over-logged Swamp Forest in Riau

Aswandi[1]

Abstract
This study was aimed to build model of stand structure dynamic and yield regulation for logged-over uneven-aged swamp forest in Riau Province. Dynamic model of stand structure was developed based on a series data of permanent sampling plot and yield regulation method which was developed based on system analysis model approach. Logged-over natural forest in the concession area of PT. Diamond Raya Timber, Riau Province was selected for analysing the stand structure dynamic which consists of ingrowth, upgrowth and mortality functions. The model was constructed based on species group (Dipterocarpaceae, Non-Dipterocarpaceae and Non-Commercial). The result indicated that silviculture treatments (thinning and liberation) increased stand diameter. Average diameter increment in 3-10 years after timber cutting at permanent plot with silvicultural treatment was 0,43 cm/year and 0,37 cm/year wihout treatments. The result of simulation showed that cutting cycle 35 years decreased the Number of trees for cutting and unsustainable. The increasing of cutting cycle up to 40 years or the decrease diameter cutting limit to 40 cm was an alternative of yield regulation for sustainable yield management.

Keywords : model, stand structure, logged-over forest, analytical system, yield regulation

MODEL ANALISIS SISTEM DINAMIKA PERTUMBUHAN DAN PENGATURAN HASIL HUTAN RAWA BEKAS TEBANGAN DI RIAU

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membangun model analisis sistem dinamika struktur tegakan dan pengaturan hasil hutan rawa tidak seumur di Riau. Model disusun berdasarkan pada seri data petak ukur permanen di hutan alam bekas tebangan pada areal pengusahaan hutan PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau. Dinamika struktur tegakan terdiri atas ingrowth, upgrowth, dan mortality. Model yang dibangun didasarkan pada kelompok jenis (Dipterocarpaceae, Non-Dipterocarpaceae dan Non-Komersial). Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan siklus tebang 35 tahun, tegakan pada siklus tebang kedua belum mencapai kondisi semula. Memperpanjang siklus tebang hingga 40 tahun atau menurunkan limit diameter hingga kelas diameter 40 merupakan alternatif untuk menjaga kelestarian hasil. Siklus tebang yang semakin panjang ini juga didukung oleh riap diameter yang lebih kecil dari 1 cm/tahun yang menjadi dasar penetapan siklus tebang 35 tahun.

Kata kunci : model, struktur tegakan, hutan bekas tebangan, analisis sistem, pengaturan hasil

[1] Staf Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera di Pematangsiantar
email : andiasw@yahoo.com

Simulation Model of Thinning for Eucalyptus Plantatian Forest

By :
Aswandi[1]

Abstract
The objective of this study was to developing a simulation model of thinning for eucalyptus plantation forest based on system analysis. The model used for predicting optimal time and intensity of thinning. Simulation to various scenarios of thinning resulted intensity 20% with rotation 5 year and length of plantation rotation 15 year were the optimum prescription of thinning. Yield projection at this prescription were 610,5 m3 per ha or MAI 40,7 m3 per ha per year and average of stand diameter 39,0 cm. This value were accumulation the volume of thinning 80,1 m3/ha and harvesting at the end of rotation 530,4 m3/ha. The model were hyphotetic model and have to conduct validation by developing permanent sampling plots of thinning.

Keywords : model, simulation, system analysis, eucalyptus, North Sumatera

MODEL SIMULASI PENJARANGAN HUTAN TANAMAN EKALIPTUS

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membangun model hipotetis penjarangan hutan tanaman jenis ekaliptus berdasarkan pendekatan analisis sistem. Pada saat ini di lokasi penelitian kegiatan penjarangan belum dilakukan karena orieantasi pengusahaan masih pada hasil biomassa. Model sistem yang dibangun digunakan untuk mengetahui waktu dan intensitas penjarangan yang optimal. Berdasarkan simulasi terhadap berbagai skenario preskripsi penjarangan, intensitas penjarangan 25% dengan rotasi penjarangan 15 tahun memberikan hasil maksimal sebesar 40,7 m3 per ha per tahun atau 610,5 m3 per ha tegakan dengan rata-rata diameter 39,0 cm. Hasil total tersebut diperoleh dari kegiatan penjarangan sebesar 80,1 m3 per ha dan hasil tebangan akhir daur sebesar 530,4 m3 per ha. Model yang dibangun merupakan model hipotetis sehingga validasi sangat perlu dilakukan dengan membangun petak ukur penjarangan di lapangan.

Kata kunci : model, analisis sistem, simulasi, penjarangan, ekaliptus, Sumatera Utara

[1] Staf Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera di Aek Nauli
Email : andiasw@yahoo.com

Growth of Enrichment Planting at Logged over Natural Production Forest in North Sumatra

By :
Rusli MS Harahap dan Aswandi

Abstract
Enrichment planting as one phase of Indonesian Selective Logging with planting should be studied quantitative and qualitatively for indigenous or exotic fast-growing timber commercial trees. This study was based on the result of different growth characteristic of seedling through plantation at Sialiali and timber consessioner PT. Keang Nam Development Indonesia in North Sumatra. Five species ie: Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth, A. mangium Wild, Pinus merkusii Jung et de Vries, Shorea platyclados and S. ovalis Bl were planted at one ha of bushes and over loggeg forest areas by spacing 5 x 5 m. The same age of seedling will show different growth increment does to site effect. Exotic fast-growing species show good performance in relative open area, contrary climax-indigenous species has more suitable in more closed vegetation. Comparison growth ten years old in logged over forest and bushes in Sialiali showed that Anisoptera costata Roxb. and Shorea ovata Dryer showed significantly different in height and diameter.

Keywords: enrichment planting, indigenous species, exotic fast-growing species, logged over forest, bushes

PERTUMBUHAN TANAMAN PENGKAYAAN PADA HUTAN ALAM PRODUKSI BEKAS TEBANGAN DI SUMATERA UTARA

Abstrak
Pengkayaan merupakan salah satu kegiatan dalam sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia yang perlu diteliti dalam hal kualitas dan kuantitas jenisnya baik jenis komersil eksotik ataupun jenis asli yang tumbuh cepat. Penelitian ini didasarkan pada adanya perbedaan sifat pertumbuhan anakan yang berasal dari tanaman di Sialiali dan HPH PT. Keang Nam Development Indonesia di Sumatera Utara. Lima jenis yang diuji adalah Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth, A. mangium Wild, Pinus merkusii Jungh. et de Vries, Shorea platyclados V.Sl, dan S. ovalis Bl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur anakan yang sama menghasilkan pertumbuhan yang berbeda menurut tapak. Jenis-jenis eksotik cepat tumbuh lebih baik pertumbuhannya pada tapak yang relatif terbuka. Sebaliknya jenis asli klimaks memiliki pertumbuhan yang lebih baik pada tapak yang relatif tertutup tegakan. Perbandingan pertumbuhan Anisoptera costata Roxb. dan Shorea ovata Dyer umur tanam 10 tahun pada hutan bekas tebangan dan semak belukar di Sialiali menunjukkan perbedaan tumbuh yang nyata baik dalam tinggi dan diameter.

Kata kunci : tanaman pengkayaan, jenis asli, jenis eksotik cepat tumbuh, hutan bekas tebangan, semak belukar

Perception of Strategic Institutes to Criterions and Indicators of Sustainable Forest Management of Natural Production Forest

By :
Aswandi dan Rusli MS Harahap

Abstract
The objects of this research was to know the perception of various strategic institution to each criterions and indicators specified to attainment of sustainable forest management (SFM) in natural production forest, testing applying of criterion and indicator to know existing problems and also to formulate various strategy of SFM. The result indicate that accomplishment of criterion of prerequisite assumed to own higher level especially indicator of certainty of area of management unit in effort attainment of SFM. Realized by each stakeholder that certainty of this status represent base for certainty of enterprising of forest and uncertainty of this represent root of conflict that happened among forest peoples and forest enterprises. This problems is also happened by the effect of do not accommodate importance forest peoples to forest resources. Therefore strategy of trouble-shooting of forest management have to be aimed at by problem like area arragement, enhancing market and nature resources and enableness socialize. Pursuant to implementation of criterion and indicator assessment, mechanism of assessment specified by tend to difficult to stiff so that accommodate dynamics of change that happened and also tend to have the character of technical prosedural so that require to be re-formulated related especially with various aspect of forest disturbation an specific condition of forest.

Keywords: criterion and indicator, sustainable forest management, Analytical Hierachy Process, forest consession

PERSEPSI LEMBAGA STRATEGIS TERHADAP KRITERIA DAN INDIKATOR PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi dari berbagai lembaga strategis terhadap setiap kriteria indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL), menguji penerapan kriteria dan indikator untuk mengetahui permasalahan yang ada dan merumuskan berbagai strategi pengelolaan hutan lestari. Hasil menunjukkan bahwa pemenuhan kriteria prasyarat memiliki bobot tertinggi terhadap pencapaian pengelolaan hutan lestari khususnya indikator kepastian kawasan unit manajemen. Disadari oleh masing-masing stakeholder bahwa kepastian status unit manajemen merupakan dasar dari kepastian pengusahaan hutan dan ketidakpastian hal ini merupakan akar dari konflik yang terjadi antara masyarakat dengan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Masalah ini juga diakibatkan oleh tidak terakomodasikannya kepentingan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Oleh karena itu strategi pemecahannya harus diarahkan pada penetapan kepastian kawasan, perbaikan pasar perkayuan (termasuk pengatasan illegal trade), dan pengikursertaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan. Dalam implementasi penilaian kriteria dan indikator PHAPL, mekanisme penilaian yang terlalu spesifik dan kaku cenderung menyulitkan penilai untuk mengakomodasikan dinamika perubahan yang terjadi dan juga cenderung lebih bersifat teknis prosedural, sehingga diperlukan perumusan kembali terutama berkaitan dengan berbagai aspek gangguan dan kondisi spesifik hutan alam produksi.

Kata kunci: kriteria dan indikator, pengelolaan hutan lestari, Hak Pengusahaan Hutan.

[1] Staf peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera di Aek Nauli
email : andiasw@yahoo.com

Potency of Roppabinu (Castanopsis tungurrut A.DC.) for Multipurpose-tree

By :
Rusli MS Harahap, Darmawan Edy, dan/and Aswandi

Abstract
Roppabinu (Castanopsis tungurrut A.DC) is belong to Fagaceae, one of multiple purpose of tree species that promising for plantation on private or protection forest because of its good wood quality and producing edible nut. The chemical nut composition were 45.85% of starch, 52,71% of carbohydrate, 3.11% of protein, and 1.17 % of fat. The seeds were very low germination percentage, and eating by wild fig, it would be extinct species if not be preserved. Vegetative propagation for plantation establishment should be carried out.

Keywords: Castanopsis tungurrut, private forest, roppabinu

Potensi Roppabinu (Castanopsis tungurrut A.DC) Untuk Pohon Serbaguna

Abstrak
Roppabinu (Catanopsis tungurrut A.DC.) termasuk jenis Fagaceae, pohon yang tepat untuk ditanam di hutan rakyat atau di hutan lindung karena selain pohonnya cocok untuk kayu pertukangan juga menghasilkan buah yang dapat dimakan. Komposisi kimia buahnya terdiri dari 45,85% pati, 52,71 % karbohidrat, 3,11 % protein, dan 1,17 % lemak. Biji sangat lambat berkecambah dan disukai babi hutan sehingga akan mengalami kepunahan kalau tidak dilestarikan. Teknologi perbenihan terutama pengembangbiakan secara vegetatif perlu diupayakan.

Kata kunci: Castanopsis tungurrut, hutan rakyat, kayu pertukangan

Estimation Model of Standing Tree Volume Using Integration of Taper Function for Meranti : Case Study in Forest Consessioner PT. KNDI North Sumatra

By :
Aswandi, Darmawan Edy, dan Dodo A. Suhada

Abstract
Variability of tree stem forms limits the use of volume table and form factor in the tree volume estimation to specific species and location. The form factor of 0.7 that generally used in forest inventory today tends to produce a biased volume estimation, especially for non-linear stem form. This study is objected to find a more accurate model on the standing tree volume estimation by integrating taper function. Based on measurement of 424 sections of 89 sample trees, the proposed taper function and standing tree volume estimation models are:
Text
where d : diameter at height h, D : diameter at breast height, h : measured height at certain point of the tree, and H : total height up to merchantable stem. Estimation of standing tree volume using this integration of taper function for meranti (Shorea spp.) produced high accuracy estimation and flexibility.
Keywords : tree volume, model, taper function, form factor, volume table, meranti

Telah diterbitkan pada Jurnal Hutan dan Konservasi Alam. 2005.
Full text : Hubungi andiasw@gmail.com

Ingrowth, Upgrowth and Mortality Model for Overlogged Swamp Forest in Province of Riau

By :
Aswandi

Abstract
Forest growth after selective logging represent stand dynamics through growth new tree (ingrowth), increasing of growth phase (upgrowth) and death trees (mortality). The objective of this study were to develop ingrowth, upgrowth and mortality estimation models for swamp forest by using permanent plot data series timber consessioner PT. Inti Prona Province of Riau. Model built indicate that rate of ingrowth, upgrowth and mortality influenced by basal area, stand density, and size of tree. Ingrowth and upgrowth rate correlating negativity with stand basal area, and ingrowth and upgrowth will progressively lower at basal area of which excelsior. While mortality rate correlate positive with of basal area, so that mortality rate will excelsior at greater basal area.

Keywords: ingrowth, upgrowth, mortality, basal area, density, model, stand structure, swamp forest

Model Ingrowth, Upgrowth dan Mortality pada Hutan Rawa Bekas Tebangan di Provinsi Riau


Abstrak
Pertumbuhan hutan setelah penebangan merepresentasikan dinamika pertumbuhan tegakan melalui penambahan individu pohon baru (ingrowth), peningkatan fase pertumbuhan melalui pertambahan diameter (upgrowth) dan kematian pohon penyusun tegakan (mortality). Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model penduga ingrowth, upgrowth dan mortality hutan rawa dengan menggunakan data seri petak ukur permanen HPH PT. Inti Prona Propinsi Riau. Model yang dibangun menunjukan bahwa laju ingrowth, upgrowth dan mortality dipengaruhi oleh luas bidang dasar tegakan, kerapatan tegakan dan ukuran pohon. Laju ingrowth dan upgrowth berhubungan negatif dengan luas bidang dasar tegakan, dan ingrowth dan upgrowth akan semakin rendah pada luas bidang dasar tegakan yang semakin besar (tegakan yang lebih rapat). Sedangkan laju mortality berhubungan positif dengan luas bidang dasar tegakan, sehingga laju mortality akan semakin tinggi pada luas bidang dasar tegakan yang semakin besar.

Kata kunci : ingrowth, upgrowth, mortality, luas bidang dasar, kerapatan tegakan, model, struktur tegakan, hutan rawa.

Telah diterbitkan pada Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Bogor Volume II No. 4 Tahun 2005. Hal. 361-375

Site index prediction model for Gmelina arborea plantation forest at Pasir Mandoge North Sumatra

by :
Aswandi dan Cica Ali

Abstract
This research was aimed to finding site index prediction model for Gmelina arborea plantation at Pasir Mandoge North Sumatera. The contruction of the model was based on the relationship between upperheight and age of the stand. Data were collected through measuring 24 experimental plot taken in plantation of 5 – 8 years old in North Sumatera. Data processing with non linear regression analysis and least square method produced the following model : log SI = log H – 0,809 (A-1- 8-1) where SI : site index; H : upperheight; A : age (years), and 8 : age index (years); for site index prediction. Determination coefisien (R2), aggregate difference (AgD) and average of percentage deviation (AvD) of this site index model is 86.1%, 0.798, and 7.63, respectively.

Keywords : site index, gmelina, forest plantation, upperheight, model

MODEL PENAKSIRAN INDEKS TEMPAT TUMBUH HUTAN TANAMAN Gmelina arborea DI PASIR MANDOGE SUMATERA UTARA

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model penduga kualitas (indeks) tempat tumbuh hutan tanaman Gmelina arborea di Pasir Mandoge Sumatera Utara. Penyusunan model didasarkan pada hubungan antara peninggi dan umur tegakan. Data dikumpulkan melalui pengukuran 24 pot penelitian berukuran 0,1 ha yang dibangun pada tegakan berumur 5 – 8 tahun. Pengolahan data dengan menggunakan analisis regresi non linear dan metoda kuadrat terkecil menghasilkan model: log SI = log H – 0,809 (A-1- 8-1) dimana SI : indeks tempat tumbuh; H : peninggi (m); A : umur tegakan (tahun), and 8 : umur indeks; untuk menduga kualitas tempat tumbuh. Model ini cukup handal dengan koefisien determinasi (R2), simpangan agregat (AgD) dan rata-rata persentase simpangan (AvD) adalah 86,1%, 0,798, dan 7,63, berturut-turut.
Kata kunci : indeks tempat tumbuh, gmelina, peninggi, model, hutan tanaman

Growth and Yield Model for Gmelina arborea Plantation Using Temporary Sampling Plots in North Sumatra

By :
Aswandi dan Cica Ali

Abstract
The objective of the study was to develop sustainable growth and yield model for Gmelina arborea at Pasir Mandoge Simalungun North Sumatra. Data from 12 temporary sampling plots were used to formulate the model which include stand diameter and height function, number of trees per hectare prediction model, basal area and stand volume equation. That plots taken at stands 5 – 8 years old. Site quality was calculated by following the site index equation SI = H*{(1-e-0.237*8)/ (1-e-0.237*A)}that developed based on relationship dominant height with stand age. Volume yield at rotation 8 year old is 178.74 m3 ha-1 with MAI 22.34 m3 ha-1 yr-1. Yield prediction model were developed by regression analysis. Mean of diameter, height, basal area and stand volume expessed as :
a. Stand dbh model : ln D = 5.84 - 6.27 A-1 - 0.511 ln S -0.00066 N
b. Stand mean height model : ln H = - 4.09 + 4.07 lnA -1.46 ln B+ 1.15 ln N - 1.30 ln S
c. Number trees prediction model : ln N = 8.80 + 0.227 ln B - 0.817 ln D - 0.227 ln S
d. Stand basal area model : ln B = 5.26 - 0.0281 S - 8.05 A-1 - 0.151 S/A
e. Volume yield model : ln V = 2.02 + 0.0407 S + 0.65 A-1 + 0.682 ln B
where D : dbh (cm), H : mean height (h), V : stand volume (m3 ha-1), A : age (yr), B: basal area (m2), and S : site index. Derived curves plotted against age provide sigmoid-shaped yield curves. This result supports the biological principle of stand development.

Keywords : Growth and yield, model, Gmelina arborea, North Sumatra.

MODEL PERTUMBUHAN DAN HASIL HUTAN TANAMAN Gmelina arborea MENGGUNAKAN PETAK UKUR TEMPORER DI SUMATERA UTARA

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membangun model pertumbuhan dan hasil jenis Gmelina arborea di Pasir Mandoge Simalungun Sumatera Utara. Data pengukuran 12 plot ukur temporer digunakan untuk merumuskan model penduga diameter, tinggi, jumlah pohon per hektar, luas bidang dasar dan volume tegakan. Semua plot tersebut berada pada tegakan yang berumur 5 – 8 tahun. Kualitas tempat tumbuh dihitung menggunakan persamaan indeks tempat tumbuh SI = H*{(1-e-0.237*8)/ (1-e-0.237*A)} yang dibangun berdasarkan hubungan antara peninggi dengan umur tegakan. Hasil volume pada umur rotasi 8 tahun adalah 178,74 m3 ha-1 dengan MAI)sebesar 22,34 m3 ha-1 tahun-1. Model prediksi pertumbuhan dan hasil dibangun berdasarkan analisis dan diperoleh :
a. Model dbh tegakan : ln D = 5.84 - 6.27 A-1 - 0.511 ln S -0.00066 N
b. Model tinggi tegakan : ln H = - 4.09 + 4.07 ln A - 1.46 ln B+ 1.15 ln N - 1.30 ln S
c. Model penduga jumlah pohon : ln N = 8.80 + 0.227 ln B - 0.817 ln D - 0.227 ln S
d. Model luas bidang dasar : ln B = 5.26 - 0.0281 S - 8.05 A-1 - 0.151 S/A
e. Model volume : ln V = 2.02 + 0.0407 S + 0.65 A-1 + 0.682 ln B
Model-model tersebut menghasilkan kurva pertumbuhan berbentuk sigmoid. Hasil ini mendukung prinsip-prinsip biologi perkembangan tegakan.

Kata kunci: model, pertumbuhan dan hasil, Gmelina arborea, Sumatera Utara

Telah diterbitkan pada :
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Bogor Volume II no. 4 Tahun 2005. Hal. 303-416

Kajian Sistem Silvikultur dan Pertumbuhan Hutan Bekas Tebangan pada Berbagai Tipe Hutan di Sumatera Utara

Oleh :
Aswandi dan Rusli MS Harahap

ABSTRAK
Dasar ilmiah berbagai sistem silvikultur seperti TPI, TPTI, TPTJ, TJTI belum dikuasai secara tepat, sehingga penerapannya secara teknis menghadapi banyak masalah. Hal ini pelu dikaji mengingat kompleksnya permasalahan kehutanan di Indonesia dan telah masuknya pengelolaan hutan pada siklus tebangan kedua yang menyebabkan pengelolaan hutan mengarah pada pengelolaan hutan bekas tebangan. Tindakan pembinaan tegakan hingga umur 8 tahun setelah penebangan pada beberapa IUPHHK di Sumbagut tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap prediksi riap diameter dan siklus tebang 35 tahun pada siklus tebangan kedua belum memberikan hasil lestari. Hal ini didukung oleh riap diameter yang lebih kecil dari satu centimeter per tahun. Oleh karena itu memperpanjang siklus tebang atau menurunkan limit diameter merupakan alternatif untuk menjaga kelestarian hasil. Untuk meningkatkan efisiensi pelaksanaan pembinaan tegakan dalam TPTI, dapat dilakukan alternatif penyederhanaan tahapan pembinaan tegakan dilakukan dengan mengintegrasikan kegiatan perapihan, pembebasan dengan Inventarisasi Tegakan Tinggal pada satu tahun setelah penebangan sehingga kegiatan berikutnya dilakukan lebih awal. Penanaman pengkayaan dapat dilakukan pada tapak-tapak terbuka dengan jenis-jenis yang tepat dan sesuai untuk masing-masing tipe hutan segera setelah penebangan.

Kata kunci : sistem silvikultrut TPTI, pembinaan tegakan, riap, hutan bekas tebangan

Makalah Penunjang pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006

Full text : Hubungi andiasw@gmail.com

Phenotypic Variation on Agathis borneensis Warb. of Sipagimbar in Aek Nauli, North Sumatra

By :
Komala, Aswandi, Rusli M.S Harahap, dan Edi Kuwato

Abstract
This research was conducted at the arboretum of Forestry Research Institute of Sumatra at Aek Nauli. The objective of studies were to know phenotypic variation of Agathis borneensis Warb. in the total height, stem and branch diameter, branch angle, internode length, crown width, length and width of leaves of two shoot color agathis of 7 years old. The source of wildlings was the natural stand of A. borneensis Warb. at Sipagimbar, South Tapanuli North Sumatera. t-paired test from ten sample from two shoot color (greenish and reddish brown) indicated that there were significant difference on total height, branch diameter, branch angle, internode length, crown width and length of leaves. There are no differences on stem diameter and width of leaves. It can be concluded that there are two types population of agathis at Sipagimbar. Research on anatomical and wood characteristic should be done to investigate if they are any differentiation on species or varieties and plantation agathis for in-situ conservation are recommended at Sipagimbar.

Key words : Agathis borneensis Warb., phenotypic variation, conservation.

Keragaman Penotipa Agathis borneensis Warb. Asal Sipagimbar di Aek Nauli Sumatera Utara

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi penotipa Agathis borneensis Warb. asal Sipagimbar yang ditanam di arboretum Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera di Aek Nauli. Keragaman penotipa yang diamati adalah tinggi total, diameter batang dan cabang, sudut cabang, panjang internoda, lebar tajuk, panjang dan lebar daur dari dua warna pucuk agathis yang telah berumur 7 tahun. Sumber benih berasal dari tegakan alami agathis di Sipagimbar, Tapanuli Selatan Sumatera Utara. Analisis ragam terhadap sepuluh sample dari masing-masing warna pucuk (hijau dan cokelat kemerahan) mengindikasikan terdapat perbedaan dalam ukuran tinggi total, diameter dan sudut cabang, jarak internoda, dan lebar tajuk. Sedangkan diameter batang dan lebar daun tidak berbeda antar kedua warna pucuk. Diduga terdapat dua jenis populasi alami agathis di Sipagimbar. Penelitian anatomi dan karakteristik kayu sebaiknya dilakukan apabila dua populasi tersebut mengindikasikan spesies atau varietas yang berbeda dan disarankan penanaman agathis secara in-situ di Sipagimbar.

Kata kunci : Agathis borneensis Warb., keragaman penotipa, konservasi.

Telah diterbitkan pada : Info Hutan Vol. III No. 3, Hal 213-217, 2006

Full text dapat hubungi Aswandi (andiasw@gmail.com)

REHABILITATION OF CRITICAL LAND : Experience from Enrichment Planting on Bushes and Imperata land in Sialiali, South Tapanuli North Sumatra


By :
Aswandi dan Rusli MS Harahap
Forest Research Institute of Aek Nauli in North Sumatra.
Jl. Raya Parapat Km 10,5 Sibaganding Parapat Sumatara Utara. Email : andiasw@yahoo.com


Abstract

During 2003 – 2007 period, more than 40 species were planted on different land cover in Siali-ali South Tapanuli. Endemic and exotic-past-growing species were planted on imperata grassland, under canopy of past-growing plantation and enrichment planting on bushes and young secondary forest. Height and diameter measurement indicated that land cover types were influenced the plant growth. Exotic-past-growing species i.e. Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth and Eucalyptus urophylla ST. Blake were grew well on open site i.e. imperata grassland and bushes, but endemic species i.e. Shorea platyclados V.Sl, and S. ovalis Bl have good performance in diameter and height growth on more closed-vegetation area i.e. young secondary forest. Dryobalanops aromatica Gearth plantation where their seedling originaly from Natal North Sumatra on bushland showed good performance in diemeter and height growth. Average of height trees at three years old plantation were 160 centimeters. Enrichment plantation with Shorea pinanga Scheff seedlings at 10 years old Acacia crassicarpa stand were indicated good adaptability this species under fast-growing species canopy which average of height were reached 80 centimeters in two years plantation. There were significant different between growth of Anisoptera costata Roxb. dan Shorea ovata Dyer at 10 years old plantation in secondary forest and bushes. Average of diameter and heigh S. ovata that planted under young secondary forest canopy were smaller (only 0.5 centimeters and 0.5 meters) as compared to their plantation in bushes (7.4 centimeters and 13.68 meters). More significant difference were showed by A. costata plantation. Average of diameter were 12.75 centimeters in bushes but only 0.62 centimeters under young forest canopy. Average of diameter and height A. costata were attainded 12.8 centimeters and 16.50 meters which planted on bushes.

Keywords: enrichment planting, indigenous species, exotic fast-growing species, secondary forest, imperata land, bushes


REHABILITASI LAHAN KRITIS :
Pengalaman Penanaman Pengkayaan pada Lahan Alang-alang dan Semak Belukar
di Siali-ali Tapanuli Selatan Sumatera Utara

Abstrak

Selama periode 2003 – 2007 telah dilakukan ujicoba penanaman pengkayaan pada berbagai tipe penutupan lahan di Siali-ali Tapanuli Selatan. Telah ditanam lebih dari 40 jenis tanaman dengan jumlah tanaman per jenis yang tidak seragam pada lahan alang-alang, di bawah tegakan hutan tanaman dan pengkayaan semak belukar dan hutan sekunder muda. Jenis yang ditanam berasal dari jenis endemik maupun eksotik. Hasil pengukuran pertumbuhan menunjukkan bahwa tipe penutupan lahan mempengaruhi laju pertumbuhan tanaman. Jenis-jenis eksotik cepat tumbuh seperti Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth dan Eucalyptus urophylla ST. Blake tumbuh lebih baik pada tapak yang relatif terbuka seperti padang alang-alang dan semak belukar muda, sebaliknya jenis endemik diantaranya Shorea platyclados V.Sl, dan S. ovalis Bl memiliki pertumbuhan yang lebih baik pada tapak yang relatif tertutup tegakan. Penanaman semai Dryobalanops aromatica Gearth yang berasal dari Natal Sumatera Utara pada areal terbuka seperti semak belukar menunjukkan pertumbuhan yang baik. Pada umur tiga tahun setelah tanam rata-rata tinggi tanaman mencapai 160 cm. Penanaman pengkayaan jenis Shorea pinanga Scheff. di bawah tegakan Acacia crassicarpa yang berumur 10 tahun menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik dari jenis meranti tersebut. Pada umur dua tahun setelah tanam rata-rata tinggi tanaman mencapai 80 cm. Terdapat perbedaan pertumbuhan yang signifikan Anisoptera costata Roxb. dan Shorea ovata Dyer pada umur tanam 10 tahun yang ditanam pada hutan bekas tebangan dan semak belukar. Rata-rata diameter dan tinggi tanaman S. ovata di bawah naungan tegakan hutan muda lebih rendah yakni 0,5 cm dan 0,5 m dibandingkan pertumbuhan tanaman yang ditanam di semak belukar sebesar 7,4 cm dan 13,68 m. Respon yang lebih berbeda ditunjukkan oleh pertumbuhan diameter dan tinggi A. costata. Rata-rata diameter mencapai 12,75 cm pada semak belukar dibandingkan rata-rata 0,62 cm permudaan di bawah tegakan hutan sekunder muda. Rata-rata tinggi tanaman A. costata mencapai 16,50 m yang ditanam pada areal semak belukar.


Kata kunci : tanaman pengkayaan, jenis asli, jenis eksotik cepat tumbuh, hutan sekunder, alang-alang, semak belukar

18 September 2008

POTRET PENGELOLAAN HUTAN DI ACEH SELATAN : Tantangan dan Alternatif Strategi

Oleh : Cut Rizlani Kholibrina

RINGKASAN

Kabupaten Aceh Selatan merupakan salah satu kabupaten yang didominasi oleh kawasan lindung (70,55%) sehingga kegiatan pengelolaan hutannya tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan kawasan konservasi tersebut. Adanya kesenjangan kebutuhan dibandingkan suplai kayu yang dapat dipenuhi dari penebangan dan perdagangan legal serta kurangnya penegakan hukum telah mengakibatkan penebangan liar (illegal logging) masih tetap berlangsung. Illegal logging, perambahan dan kebakaran hutan dan lahan telah mengakibatkan degradasi hutan yang mengakibatkan bencana lingkungan seperti banjir, tanah longsor, abrasi pantai, kekeringan serta penurunan pendapatan negara dan keanekaragaman hayati yang bernilai tinggi.

Karena illegal logging sangat terkait dengan kesenjangan permintaan dan suplai kayu, kemiskinan masyarakat, dan penegakan hukum yang lemah maka usaha pemberantasannya harus diarahkan pada aspek penataan pasar kayu (termasuk restrukturisasi industri), pemenuhan bahan baku substitusi dan pembangunan hutan tanaman industri sebagai andalan sumber kayu selain hutan alam. Hukum adalah senjata utama pemberantasan illegal logging. Kerjasama lintas instansi terkait seperti Dinas dan Departemen Kehutanan, TNI, Kepolisian dan Kejaksaan harus dikuatkan. Pemenuhan personil, sarana prasarana pengamanan dan perlindungan hutan harus direalisasikan berdasarkan kebutuhan. Tanpa dukungan yang memadai sangat sulit diharapkan petugas lapangan bekerja maksimal terutama dengan luasnya areal hutan yang harus diawasi oleh petugas yang terbatas.

Peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan menggali berbagai alternatif pemanfaatan hasil hutan selain kayu yang bernilai tinggi seperti budidaya dan pengolahan rotan dan gaharu, penyadapan damar, kemenyan, dan tanaman perkebunan dan pertanian yang ditanam secara tumpang sari dengan tanaman kehutanan, akan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap penebangan kayu dan perambahan lahan untuk perluasan lahan pertanian dan perkebunan.

17 September 2008

REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN HUTAN KEMASYARAKATAN

Oleh :
Aswandi

Kondisi sumberdaya hutan dan lahan di Indonesia saat ini telah mengalami kerusakan yang serius. Akibat pengelolaan yang tidak tepat, lahan kritis meningkat setiap tahunnya hingga saat ini telah mencapai luas 43 juta ha, dengan laju deforestasi lebih dari 1,6 juta ha/tahun. Bahkan Walhi mencatat laju kerusakan hutan yang lebih besar yakni 3,8 juta ha/tahun atau 7,2 ha untuk setiap menitnya. Kerusakan hutan dan lahan tersebut telah mengakibatkan banjir, tanah longsor dan kekeringan yang telah menimbulkan bencana nasional.

Berbagai upaya untuk menangani lahan kritis ini telah dilakukan oleh pemerintah sejak lama, antara lain melalui program reboisasi dan penghijauan. Akan tetapi keberhasilan fisik dari kegiatan reboisasi dan penghijauan tersebut relatif rendah yakni sekitar 68% dan 21 %, belum lagi jika yang menjadi tolak ukur penilaian adalah kualitas lahan yang telah direhabilitasi, tentu akan lebih rendah lagi.

Hal ini kemungkinan dapat disebabkan karena kurang tepatnya teknologi yang diterapkan seperti pemilihan jenis atau teknik rehabilitas, kondisi lahan yang ekstrim, serta kesenjangan antara kepedulian pemerintah dan masyarakat terhadap masalah ini dengan tindakan nyata untuk mengatasinya dimana terdapat kecenderungan kegiatan ini dikerjakan hanya dalam kerangka keproyekan atau bersifat seremonial saja. Upaya pemerintah untuk mengatasi degradasi lingkungan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan juga mendapat kritikan keras dari berbagai kalangan terutama terkait dengan dana trilyunan rupiah yang dibutuhkan.
Sesungguhnya meluasnya lahan kritis tidak dapat dilepaskan persoalan yang terjadi dalam masyarakat seperti tekanan yang tinggi akan kebutuhan lahan, perladangan berpindah, penggembalaan yang berlebihan, pembakaran yang tidak terkendali, dan illegal logging sehingga pemecahannya juga tidak dapat dilepaskan dari pemecahan pemecahan yang dihadapi masyarakat itu tersebut.

Oleh karena itu strategi penanganan lahan kritis perlu diubah melalui pendekatan holistik dengan fokus sumberdaya berbasiskan masyarakat. Karena penanganan tanah kritis tersebut berhubungan erat dengan masalah kemiskinan, kesempatan kerja yang terbatas dan lingkungan yang terdegradasi, maka selain penyiapan fisik areal yang akan direhabilitasi juga diperlukan kajian kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat. Hal pertama yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah pemetaan sosial budaya tentang kekuatan sumberdaya dan kearifan tradisional yang ada dalam masyarakat.

Berdasarkan pendekatan hal ini, upaya peningkatan produktivitas lahan kritis hanya akan dapat berhasil apabila masyarakat dilibatkan sebagai aktor utama serta mereka memperoleh peningkatan kesejahteraan dari kegiatan tersebut. Tanpa hal ini, program rehabilitasi lahan yang dicanangkan diramalkan tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Tanpa pelibatan masyarakat, siapa yang akan memelihara tanaman yang telah ditanam? Akan mustahil rasanya masyarakat yang miskin secara sukarela meluangkan waktunya untuk sesuatu yang tidak memberikan peningkatan kesejahteraan langsung bagi mereka.

Karena masyarakat merupakan aktor utama kegiatan, maka mereka harus diikutsertakan dari setiap tahapan kegiatan, mulai dari tahap perencanaan hingga implementasinya. Syukur-syukur kesadaran tentang pentingnya kegiatan rehabilitasi lahan kritis tersebut tumbuh diri masyarakat sendiri sehingga kepedulian untuk memelihara tanaman yang telah ditanam tetap tinggi.

Sesungguhnya pengikutsertaan masyarakat dalam kegiatan serupa telah lama dan banyak dilaksanakan, namun keikutsertaan tersebut cenderung sebagai objek atau hanya sebagai pekerja proyek di lapangan. Masyarakat tidak diikutsertakan dalam setiap tahapan sehingga kesadaran untuk tetap memelihara tanamannya setelah kegiatan penanaman berlangsung tidak tumbuh. Apalagi cerita akan terbangunnya kelembagaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan tersebut, sangat jauh dari harapan.

Sudah banyak cerita tentang kegagalan program rehabilitasi akibat tidak diikutsertakan masyarakat dalam kegiatan perencanaannya. Contoh terkini adalah pengadaan bibit durian sebagai pohon multiguna yang akan ditanam pada salah satu lahan kritis di dataran tinggi di Sumatera. Tetapi bibit tersebut menjadi sia-sia karena masyarakat tidak berkenan menanamnya dan ironisnya masyarakat tersebut mengetahui bahwa jenis tersebut tidak cocok ditanam di dataran tinggi. Hal ini menunjukkan lemahnya perencanaan dan kurangnya iptek yang dimiliki oleh perencana kegiatan tersebut.

Sesungguhnya banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan tetapi salah satu yang cukup dikenal adalah sistem hutan kemasyarakatan. Pembangunan hutan kemasyarakatan didasarkan pada filosofi bahwa masyarakat tidak sekedar diberikan alternatif untuk tidak merusak hutan, melainkan diarahkan pada pemberian kesempatan dan kepercayaan untuk memanfaatkan sumberdaya hutan terutama hasil hutan non kayu sehingga tercipta interaksi positif antara masyarakat dan hutan melalui pengelolaan partisipatif.

Salah satu kegiatan dalam hutan kemasyarakatan yang dapat digunakan untuk rehabilitasi lahan adalah agroforestry (wana tani). Terdapat berbagai pola agrofrestry yang dapat digunakan misalnya pola agrosilvopastural. Pola ini memadukan penanaman tanaman pertanian musiman, kehutanan, dan sumber pakan ternak sehingga cocok untuk digunakan untuk rehabilitasi lahan akibat pengembalaan yang berlebihan (over grazing). Pola lainnya adalah silvofishery yang menggabungkan kegiatan penanaman kehutanan dan perikanan sehingga pola ini dapat digunakan untuk merehabilitasi lahan mangrove misalnya.

Selain dua diatas masih terdapat pola-pola agroforestry lainnya, tetapi satu hal yang sama adalah bahwa penanaman pohon dilakukan bersamaan dengan berbagai jenis tanaman pertanian. Berbagai praktek agroforestry menunjukkan bahwa sistem ini memberikan dampak ganda berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat di satu sisi dan peningkatan produktivitas lahan dan kelestarian hutan disisi lain. Selain memperoleh kesejahteraan dari tanaman pertanian semusim yang ditanam di antara tanaman kehutanan, teknik ini memberikan pengaruh positif terhadap produktivitas tanah berupa meningkatnya ketersediaan unsur hara dan bahan organik serta menekan laju erosi tanah.

Satu hal yang sering luput dari perhatian adalah kesesuaian jenih tanaman yang akan ditanam dengan lokasi yang akan direhabilitasi. Seharusnya pemilihan jenis tanaman tidak boleh dilepaskan dari faktor penyebab dari timbulnya degradasi lahan itu sendiri. Misalnya, karena pengembalaan liar dan kebakaran hutan merupakan faktor utama penyebab degradasi lahan di suatu daerah maka jenis yang dipilih sebaiknya harus tahan terhadap kebakaran berulang dan kekeringan, serta dapat dijadikan pakan ternak. Akan lebih menarik masyarakat jika jenis yang dipilih telah dikenal masyarakat baik kesesuaian dengan tempat tumbuh atau memiliki prospek ekonomi yang baik, tanaman gaharu misalnya. Satu hal lagi yang tidak boleh luput dari perhatian adalah hak atau status akan lahan karena sistem agroforestry merupakan sistem yang permanen dan memiliki rotasi atau masa waktu yang lama maka hak atas sumberdaya yang tumbuh pada lahan tersebut harus jelas aturan mainnya.

Diharapkan peningkatan kesejahteraan dari kegiatan hutan kemasyarakat ini dalam jangka panjang akan mengurangi tekanan masyarakat terhadap sumber hutan dalam bentuk illegal logging dan perambahan lahan bahkan masyarakat secara sadar akan mempertahankan setiap jengkal hutan dari kerusakan, apapun penyebabnya***

16 September 2008

PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN PINUS TAPANULI DAN KERINCI

Oleh : Aswandi
Staf Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera

Apabila kita melewati kawasan hutan Aek Nauli sekitar 40 menit perjalanan darat dari Pematangsiantar menuju Parapat kita akan disuguhi deretan pohon-pohon pinus yang sangat indah yang memberi kesan seakan-akan kita tengah berada di kawasan bumi bagian utara. Akan tetapi tahukah kita bahwa pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) yang juga disebut tusam atau sulu dalam bahasa Batak (Sala – Gayo; Uyeum – Alas; Susugi – Minangkabau; Sigi – Kerinci) merupakan satu-satunya jenis pinus yang tumbuh alami di Indonesia bahkan di seluruh bumi bagian selatan. Di Indonesia pun jenis ini hanya tumbuh alami di Sumatera yakni di Aceh, Tapanuli dan Kerinci. Tidak banyak yang tahu bahwa deretan tusam yang kita lihat tersebut dan pada berbagai tempat di pinggir jalan lainnya bukan merupakan tusam asli Tapanuli tetapi merupakan tusam Aceh. Lalu dimana dapat kita jumpai tusam asli (strain) Tapanuli?

Tusam Tapanuli
Tusam sesungguhnya telah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat di Tapanuli dan Aceh. Batangnya dimanfaatkan masyarakat untuk tiang, balok dan papan. Di kalangan masyarakat Batak kayunya dianggap tahan lama dan tidak membusuk jika ditanam dalam tanah. Junghuhn, penemu tusam, mengemukakan bahwa kayu tusam digunakan masyarakat untuk penerangan (obor) karena kandungan getah (resin) yang terkandung pada kayu mengakibatkannya mudah menyala. Saat ini jenis yang juga dikenal dalam dunia perdagangan sebagai pinus Sumatra (Sumatran pine) ini dapat digunakan sebagai bahan baku pulp-kertas, kayu bangunan dan hasil bukan kayu berupa getah/gondorukem.

Dibandingkan tusam asli Aceh yang telah menyebar di seluruh Indonesia, populasi tusam asli Tapanuli hanya tersebar di daerah beberapa daerah di Tapanuli (Sipahutar, Dolok Tusam, Garoga, Sialogi, Dolok Saut, dan daerah-daerah di sekitarnya). Walaupun sejak pemerintahan kolonial Belanda tusam telah banyak ditanam di Sumatera dan Jawa untuk penghijauan dan reboisasi maupun hutan tanaman, tusam yang ditanam umumnya merupakan tusam asli Aceh. Keiding seorang peneliti dari Denmark mencatat bahwa hampir 90% tusam yang ditanam pada periode 1930 – 1970 merupakan tusam Aceh dan 10% sisanya tusam Tapanuli, sedangkan tusam Kerinci tidak diketahui. Dalam dunia akademisi, jika orang berbicara tentang tusam (pinus) maka yang dibicarakan tersebut kemungkinan besar adalah tusam Aceh.

Bagaimana kita membedakan tusam asli Tapanuli dengan tusam Aceh? Secara sekilas mungkin tidak terlihat perbedaan. Akan tetapi apabila kita cermati terlihat perbedaan yang cukup nyata dari warna daun, kulit batang, produktivitas getah, penampakan tekstur kayu, dan percabangan pohon. Tusam Tapanuli mempunyai batang yang relatif lurus, percabangan dan tajuk yang lebih ramping, kulit batang tipis dan tidak beralur, warna daun lebih muda dan rata-rata jumlah biji per kerucut buah yang lebih sedikit dibandingkan dengan tusam Aceh.

Produktivitas biji yang lebih rendah serta sulitnya menemukan tegakan induk akibat penyebarannya pada daerah-daerah dengan topografi yang sulit (umumnya pada kawasan lindung) mengakibatkan Belanda lebih memilih mengembangkan tusam Aceh. Produktivitas getah yang lebih banyak juga mendorong pemilihan tusam Aceh untuk kegiatan-kegiatan reboisasi dan pembangunan hutan tanaman untuk menghasilkan resin gondurukem. Akan tetapi bukan berarti bahwa tusam Tapanuli tidak memiliki kelebihan. Dengan serat yang lebih indah akibat relatif sedikitnya percabangan, batang yang lebih lurus, dan kandungan resin yang lebih sedikit, nilai ekonomis kayu pertukangan tusam Tapanuli lebih tinggi dibandingkan tusam Aceh. Pada saat ini nilai pasar kayu tusam Tapanuli dapat mencapai dua kali lipat dari tusam Aceh. Selain untuk kayu pertukangan, tusam juga dimanfaatkan untuk bahan baku pulp, salah satunya pada industri kertas kraft di Aceh.

Ancaman
Akan tetapi nilai ekonomi kayu tusam Tapanuli yang lebih tinggi selain menjadi kelebihan tetapi juga merupakan ancaman bagi kelestariannya. Kurangnya usaha-usaha pelestarian dan pembangunan hutan tanaman tusam Tapanuli dan tingginya intensitas kegiatan penebangan pada daerah-daerah penyebaran alaminya di Tapanuli (Utara dan Selatan) mengakibatkan populasinya semakin menipis. Apabila kita amati, setiap harinya tidak kurang dari sepuluh truk dengan kapasitas 8-15 m3 per truk mengangkut kayu tusam dari berbagai lokasi penebangan (hutan alam dan hutan rakyat) di Tapanuli untuk dibawa ke sentra industri kayu di Medan.

Tanpa adanya usaha-usaha untuk mengurangi atau menghentikan kegiatan penebangan dan kebijakan yang dapat melindungi populasi alaminya, tusam Tapanuli akan semakin terancam. Banyaknya kegiatan penghijauan dan reboisasi (salah satunya Gerhan) yang menggunakan tusam Aceh juga harus menjadi perhatian karena dapat menjadi ancaman bagi potensi genetik tusam Tapanuli.
Kekhawatiran ini sesungguhnya sudah mulai terjadi, berpuluh-puluh truk semai tusam Aceh dari beberapa sentra penyemaian tusam (misal di Simalungun) di tanam di berbagai lokasi Gerhan di Tapanuli. Alasan tidak diketahui dan tersedianya sumber benih yang baik (atau bersertifikat) dapat menjadi pemakluman hal ini terjadi untuk sementara waktu. Ironisnya, bukan orang awan saja yang tidak dapat membedakan tusam Aceh dengan tusam Tapanuli, sebagian akademisi dan pengambil kebijakan juga keliru menyatakan bahwa tusam yang banyak kita jumpai di pinggir-pinggir jalan menuju Parapat dari Medan adalah tusam asli Tapanuli. Padahal yang kita lihat tersebut adalah tusam Aceh yang ditanam pada tahun 60-70an sebagai tanaman reboisasi.

Komitmen Bersama
Kegiatan Gerhan dan pemilihan jenis tusam sebagai salah jenis yang ditanam sesungguhnya merupakan peluang bagi pelestarian dan pengembangan tusam Tapanuli. Hasil evaluasi tanaman Gerhan di DTA Danau Toba oleh Badan Litbang Kehutanan menunjukkan bahwa tusam (asal Aceh) mampu tumbuh baik pada lahan reboisasi dan hutan rakyat. Dalam logika sederhana, karena wilayah Tapanuli dan sebagian DTA Danau Toba merupakan tempat tumbuh alami (asal) tusam Tapanuli, maka diperkirakan tusam ini juga dapat tumbuh baik pada wilayah tersebut.

Apabila tusam Tapanuli diprioritaskan sebagai pengganti tusam Aceh dan beberapa jenis lainnya yang memiliki pertumbuhan yang buruk untuk reboisasi dan hutan rakyat di Sumatera Utara, maka akan dibutuhkan bibit tusam Tapanuli jutaan batang dengan luasan ratusan hektar. Apabila ini terjadi maka sekurangnya kita telah menambah potensi genetik tusam Tapanuli dan apabila kegiatan ini berhasil maka penyebaran tusam Tapanuli dapat diperluas.

Untuk itu dibutuhkan komitmen dari berbagai pihak (Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah – Dinas Kehutanan, Akademisi dan LSM serta masyarakat) untuk mengembangkannya apalagi tusam telah mendapat dorongan dan dukungan dari Menteri Kehutanan untuk diprioritaskan dalam Gerhan di Tapanuli dan DTA Toba. Dengan kebutuhan bibit yang sangat banyak apabila jenis ini nantinya mendapat prioritas, langkah pertama yang harus segera kita lakukan adalah menyiapkan sumber benihnya. Dalam waktu singkat tentu kita tidak dapat berharap muluk untuk menghasilkan bibit yang bermutu tinggi. Walaupun demikian, asalkan kita dapat menjamin bahwa bibit yang akan ditanam tersebut merupakan tusam Tapanuli, sudah merupakan kemajuan bagi pengembangan tusam Tapanuli. Oleh karena itu identifikasi tegakan-tegakan alam tusam Tapanuli yang dapat diperuntukkan sebagai sumber benih dan bibit harus segera dilakukan. Dalam jangka panjang tegakan-tegakan yang telah teridentifikasi dapat diseleksi menyisakan pohon-pohon yang memiliki kualitas yang lebih baik yang menjadi sumber benih.

Hal terpenting dan menjadi ujung tombak pelestarian dan pengembangan tusam Tapanuli sesungguhnya adalah masyarakat. Tanpa adanya peran serta dan animo masyarakat untuk mengembangkannya, cita-cita diatas tidak akan pernah terwujud. Untuk itu perlu ditingkatkan semangat masyarakat untuk menanam tusam, melalui perangkat kebijakan yang mendukung. Rumitnya perizinan penebangan kayu dari hutan rakyat mengurangi animo masyarakat menanam tusam sehingga harus segera direvisi. Tentu tidak menguntungkan apabila kebijakan yang ada merumitkan mereka untuk menjual kayu yang berasal dari hutan tanaman/kebun mereka padahal dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk mengahasilkan kayu tersebut. Sekali lagi diperlukan komitmen berbagai pihak untuk mendukung hal tersebut. Oleh karena itu adanya usaha-usaha sebagian pihak untuk melestarikan ataupun mengusahakan pembibitan tusam Tapanuli harus didukung dan mendapat apreasiasi kita bersama***

06 September 2008

PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI TUSAM (Pinus merkusii) STRAIN TAPANULI DAN KERINCI

Oleh :
Rusli MS Harahap dan Aswandi
*

ABSTRAK
Pinus merkusii Jungh et de Vriese strain Tapanuli dan Kerinci relatif sedikit menjadi obyek penelitian dan pengembangan sehingga penanaman dan pengusahaannya tidak semaju tusam strain Aceh. Penebangan liar dan kurangnya usaha-usaha pelestarian dan pembangunan hutan tanaman mengakibatkan populasi alami tusam Tapanuli dan Kerinci semakin menipis. Oleh karena itu diperlukan strategi pengembangan yang tepat melalui percepatan pembangunan hutan tanaman dan konservasi genetik secara in situ maupun eks-situ untuk mengurangi laju penipisan kekayaan genetik. Dukungan litbang terutama teknologi perbenihan tusam sangat diperlukan terutama untuk meningkatkan perkecambahan benih yang selama ini menjadi pembatas kegiatan pengembangan dan konservasinya melalui pengamatan fenologi dan ekologi, sifat dasar kayu, pengaruh hutan, silvikultur, dan sosek masyarakat. Fenomena pertumbuhan permudaan tusam pada tempat-tempat terbuka pada populasi alaminya dapat dijadikan sebagai strategi konservasi in-situ terutama untuk mendorong pertumbuhan permudaan alam pada populasi alaminya.

Kata kunci : tusam, strain Tapanuli, strain Kerinci, konservasi, benih, litbang.

A. Latar Belakang
Dengan semakin berkurangnya kemampuan hutan alam untuk memenuhi kebutuhan kayu, pembangunan hutan tanaman menjadi ujung tombak substitusi kayu dari hutan alam. Salah satu jenis yang diprioritaskan untuk hutan tanaman adalah tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese ). Jenis yang juga dikenal sebagai pinus Sumatra (Sumatran pine) ini dapat digunakan sebagai bahan baku pulp-kertas, kayu bangunan dan hasil bukan kayu berupa getah/gondorukem (Suhardi et al., 1994).
Tusam merupakan satu-satunya jenis pinus yang tumbuh alami di Indonesia bahkan di seluruh bumi bagian selatan (southern hemisphere). Sebaran alaminya di Sumatera adalah Aceh, Tapanuli dan Kerinci (Cooling dan Gaussen, 1970). Jenis ini dapat tumbuh baik mulai dari beberapa meter di atas permukaan laut sampai pegunungan, tetapi memiliki pertumbuhan yang lebih baik pada ketinggian 800 m sampai dengan 2000 m dari permukaan laut (Darsidi, 1984; Suhardi et al., 1994).
Sejak pemerintahan kolonial Belanda, tusam telah banyak ditanam di Sumatera dan Jawa baik untuk penghijauan maupun hutan tanaman. Akan tetapi tusam yang ditanam tersebut umumnya merupakan tusam yang berasal (strain) dari Aceh, sedangkan strain Tapanuli dan Kerinci relatif sangat sedikit ditanam sehingga penyebarannya hanya pada sebaran alaminya. Keiding (1970) mencatat bahwa hampir 90% tusam yang ditanam pada periode 1930 – 1970 adalah tusam strain Aceh dan 10% sisanya tusam strain Tapanuli, sedangkan tusam Kerinci tidak diketahui. Penebangan baik dengan izin maupun tanpa izin dan rendahnya percepatan pembangunan hutan tanaman tusam telah mengakibatkan semakin berkurangnya populasi tusam terutama tusam strain Tapanuli dan Kerinci.
Relatif tingginya nilai ekonomi kayu tusam strain Tapanuli (batang relatif lebih lurus, percabangan ramping, kulit batang lebih tipis dan getah lebih sedikit) mengakibatkan populasi ini banyak diburu oleh penebang liar. Pengamatan sepintas di Pos Kehutanan di Simarjarunjung Kabupaten Simalungun, setiap hari rata-rata 10 truk tronton dengan kapasitas 20-25 m3 kayu tusam lewat. Truk-truk angkutan tersebut membawa kayu tusam dari Tapanuli Utara dan sekitarnya dengan tujuan industri pengolahan kayu di Pematangsiantar, Tebingtinggi dan Medan.
Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada tusam strain Kerinci dimana penebangan liar dan konversi hutan menjadi lahan perkebunan mengakibatkan populasi di sebaran alaminya semakin menipis. Tanpa adanya usaha-usaha konservasi dan budidayanya, kedua strain ini akan semakin berkurang populasinya. Hal ini tentu akan mengakibatkan semakin menurunnya potensi genetik keanekaragaman hayati yang kita miliki.

B. Rumusan Masalah
Sesungguhnya tusam telah lama menjadi obyek penelitian, akan tetapi usaha-usaha pemuliaan, budidaya, pengelolaan dan pemanfaatannya lebih banyak dilakukan terhadap tusam strain Aceh. Hal ini umumnya dikarenakan strain ini telah menyebar di seluruh Indonesia terutama Sumatera dan Jawa. Sedangkan tusam strain Tapanuli dan Kerinci belum banyak dipelajari padahal kedua strain memiliki potensi yang tidak kalah dibandingkan strain Aceh yang telah banyak dikembangkan. Kemampuannya tumbuh pada areal-areal berbatu yang mencerminkan kekritisan lahan sesungguhnya mencerminkan potensi jenis ini sebagai tanaman pioneer untuk rehabilitasi lahan.
Banyaknya illegal logging (eksploitasi berlebihan, perambahan) mengakibatkan tusam strain Tapanuli dan Kerinci tumbuh dalam luasan-luasan kecil dan terkelompok sehingga memiliki resiko kepunahan yang cukup tinggi apabila tidak ada upaya penyelamatan dan konservasi. Bersama dengan 12 (dua belas) jenis lainnya, tusam termasuk dalam daftar IUCN Red List Categories tahun 1994.
Kegiatan konservasi tusam telah mulai dilakukan melalui pengumpulan materi genetic dari sebaran alam dan pembangunan tegakan benih, uji provenans, uji keturunan, kebun konservasi (konsevasi eks-situ) serta perlindungan pada sebaran alaminya seperti pada kawasan Taman Nasional dan Cagar Alam (konservasi in-situ). Akan tetapi konservasi eks-situ tersebut belum berhasil dilakukan karena rendahnya tingkat perkecambahan benih (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, 2005).
Permudaan alam tusam strain Tapanuli dan Kerinci sulit didapat pada tegakan yang tertutup. Akan tetapi permudaan akan banyak ditemui pada daerah yang terbuka seperti bekas tanah longsor (Yafid et al, 2005), perambahan dan penebangan. Kondisi ini tentu memerlukan strategi konservasi in-situ yang relatif berbeda untuk jenis ini terutama untuk mendorong pertumbuhan permudaan.
Dipihak lain sangat disayangkan adanya penanaman reboisasi dan penghijauan yang menggunakan tusam Aceh yang ditanam berdekatan dengan sebaran alami tusam Tapanuli dan Kerinci. Hal ini diduga akan menurunkan kemurnian kedua strain tersebut di masa yang akan datang.

C. Status Riset
1. Taksonomi
Pinus merkusii termasuk dalam famili Pinaceae dan bersinonim dengan P. sumatrana Junghuhn (1846) dan P. merkusiana Cooling et Gaussen (1970), P. merkiana Gordon, dan P. finlaysoniana Wall. ex Blume 1847).

2. Penyebaran Alami
Tusam merupakan satu-satunya jenis Pinus asli Indonesia (Sumatera : Aceh, Tapanuli dan Kerinci) dengan penyebaran :
a. Strain Aceh penyebarannya dari pegunungan Seulawah Agam sampai sekitar TN Gunung Leuser kemudian ke Selatan mengikuti Pegunungan Bukit Barisan lebih kurang 300 km melalui Danau Laut Tawar, Uwak, Blangkejeren sampai Kutacane. Pada daerah ini ketinggian 800-2000 mdpl.
b. Strain Tapanuli, menyebar di daerah Tapanuli ke Selatan Danau Toba. Tegakan tusam alam terdapat di pegunungan Dolok Tusam, Batu Manumpak, Sialogo, Habinsaran, Dolok Sibualbuali, Dolok Sipirok, Sipagimbar, Padang Mandailing dan Dolok Pardumahan. Pada perbukitan Dolok Saut tegakan tusam bercampur dengan pohon daun lebar. Ketinggian tempat 1000-1500 mdpl.
c. Strain Kerinci menyebar di sekitar Pegunungan Kerinci. Tegakan alami relatif mengelompok dalam luasan yang tidak begitu luas di CA Bukit Tapan, Sungai Penuh, Bukit Terbakar dan Pungut Mudik. Ketinggian tempat 1500-2000 mdpl.

3. Karakter Morfologi dan Ekologi
Bagaimana kita membedakan tusam asli Tapanuli, Kerinci dengan tusam Aceh? Apabila dicermati terlihat perbedaan pada warna daun, kulit batang, produktivitas getah, penampakan tekstur kayu, dan percabangan pohon. Tusam Tapanuli mempunyai batang yang relatif lebih lurus, percabangan dan tajuk yang lebih ramping, kulit batang tipis dan tidak beralur, dan warna daun lebih muda. Kulit batang Tusam Kerinci relatif lebih halus dan tidak beralur dibandingkan tusam Tapanuli.

Harahap (2000a) mencatat perbedaan kondisi ekologi penyebaran tusam Tapanuli di Dolok Tusam dan tusam Kerinci di Pungut Mudik. Curah hujan di kedua populasi relatif sama yaitu tipe B menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson dengan curah hujan rata-rata 2088 mm di Siborongborong Tapanuli dan 1985 mm di Sungai Penuh.
Tanah di kedua sebaran populasi sangat berbeda di mana di Kerinci tergolong pada Podsolik Merah Kuning sedangkan di Tapanuli merupakan kompleks Podsolik Merah Kuning, Latosol dan Litosol dengan pH tanah 4,75 – 5,90 di Dolok Tusam dan 4,56 - 5,0 di Pungut Mudik.
Kadar monoterpene kedua populasi berbeda terutama pada delta–3 carene yang lebih rendah pada tusam Tapanuli serta kadar limonene, alpha dan beta pinene lebih tinggi di Tapanuli daripada di Kerinci (Harahap 1989). Mengingat komposisi monoterpene merupakan sifat yang menurun maka hal ini penting dalam rangka budidaya untuk tujuan khusus.
Menurut Yafid et al (2005), permudaan alam tusam Kerinci sangat sulit didapati di bawah tegakan pinus maupun tegakan non pinus, tetapi banyak ditemukan di tempat terbuka seperti bekas tanah longsor. Jenis suku Fagaceae dan Lauraceae banyak didapati pada tegakan non pinus di Bukit Tapan. Menurut Kaliman dan Suryamin dalam Kalima et al (2005) di Kerinci tusam berasosiasi dengan Altingia excelsa, Castanopsis acuminatissima A.DC, Agathis borneensis Warb, Quercus gemillifora Bl. Kneme conferta Warb. Di hutan alam Dolok Tusam di bawah tegakan pinus ditanami dengan kemenyan dan bercampur dengan Corchorus sp.

4. Teknologi Perbenihan
Teknologi perbenihan tusam Tapanuli dan Kerinci belum banyak diketahui karena sebagaimana halnya tusam Aceh. Tusam Aceh sudah diketahui fenologi bahkan sudah diteliti hasil persilangan terkendali dan dibangun tegakan benihnya (Hendrati et al 1997).
Akibat sulitnya mendapatkan biji tusam dari alam selama ini mengaki-batkan teknik perbenihan tusam Tapanuli dan Kerinci belum berkembang (pers. com. dengan Mohammad Nai’em). Akan tetapi kesulitan tersebut kemungkinan diakibatkan tidak samanya masa berbunga dan berbuah tusam Tapanuli dan Kerinci dengan tusam Aceh yang umumnya menjadi rujukan. Hal ini dibuktikan pada hasil kerjasama Balai Litbang Kehutanan Sumatera dengan salah satu perusahaan pembibitan di Sumatera Utara bahwa masih banyak diperoleh buah (runjung) pada bulan Maret – April 2006 yang merupakan sisa buah pada bulan November – Desember.

5. Silvikultur
Sulitnya mendapatkan biji tusam selama ini mengakibatkan teknik budidaya tusam Tapanuli dan Kerinci belum berkembang. Kerentanan terhadap kebakaran hutan pada tegakan tusam murni disebabkan potensi bahan bakar yang tinggi (Wibowo 2005). Untuk itu perlu dihindari pembangunan hutan tanaman murni karena terbukti di alam jenis tusam dapat berasosiasi dengan jenis daun lebar lainnya seperti puspa, kemenyan dan rasamala terutama di daerah pegunungan seperti Tapanuli dan Kerinci (Harahap, 2000b).
Pertumbuhan tanaman kedua populasi belum banyak diketahui dalam hal bentuk batang, tabel volume, pengaruh hutan, hama penyakit sebagaimana telah diteliti pada tusam Aceh.

6. Pemanfaatan
Sifat dasar kayu dan perlakuan pengawetan tusam Tapanuli dan Kerinci belum banyak diketahui. Umum diketahui bahwa asal kayu tusam alam dari Tapanuli lebih disukai di Sumatera Utara karena lebih mudah dikerjakan dan lebih mahal harganya dibandingkan dengan asal Aceh perlu dibuktikan secara ilmiah. Penduduk di sekitar hutan alam tusam biasanya memakainya sebagai bahan bangunan untuk rumah demikian pula dengan pemakaian teras kayu untuk penyulut kayu bakar banyak digunakan terutama di daerah pegunungan yang berhawa sejuk/dingin.
Hasil perhitungan beberapa sifat dasar kayu terutama penyusutan menunjukkan bahwa kayu tusam Tapanuli memiliki persentase penyusutan yang lebih kecil. Beberapa nilai sifat dasar kayu tusam Tapanuli adalah kadar air : 115-186%, berat jenis 0,41-0,52 (Aceh : 0,55), penyusutan volume : 5,1-8,0%, penyusutan longitudinal (panjang) : 0,2-8,0%, penyusutan tangensial : 3,0-4,8% (Aceh : 8,3%), dan penyusutan radial : 3,0-4,8% (Aceh 8,3%) (Pasaribu, in press).

7. Status Konservasi
Menurut Red List Category IUCN 1994, tusam dikategorikan Rawan. Hal ini berarti bahwa populasinya berkurang karena luas wilayah keberadaan populasinya diperkirakan kurang dari 20.000 km2 atau wilayah yang dapat ditempatinya diperkirakan kurang dari 2000 km2, atau keadaan populasinya mengalami fragmentasi berat (sangat serius) atau diketahui hanya berada pada satu lokasi dan populasinya diamati atau diduga berkurang secara terus menerus dengan memperhatikan luas, wilayah keberadaan dan/aau kualitas habitat dan jumlah individu dewasa.
Konservasi in-situ tusam dilakukan pada Taman Nasional Kerinci Seblat (CA Bukit Tapan) dan CA Sibualbuali. Populasi tusam Tapanuli banyak terdapat pada Hutan Lindung Dolok Tusam. Peningkatan status Hutan Lindung Dolok Tusam sebagai kawasan konservasi in-situ harus mulai dipikirkan karena maraknya illegal logging di sekitar dan dalam kawasan terutama di sekitar jalan yang membelah hutan lindung tersebut.

D. STRATEGI PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI
1. Tusam dan Gerhan
Diantara banyak pertanyaan tentang keberhasilan Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan (Gerhan) di Sumatera Utara, mencuat kembali harapan lama pengembangan tusam untuk kegiatan rehabilitasi lahan (reboisasi dan penghijauan) dan pembangunan hutan tanaman untuk memenuhi kebutuhan kayu pertukangan, gondorukem dan industri kertas (pulp).
Hasil evaluasi keberhasilan Gerhan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba oleh Litbang Kehutanan menunjukkan bahwa tusam memiliki performansi pertumbuhan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan jenis lainnya seperti meranti, mahoni, dan suren/ingul. Jenis ini dapat tumbuh pada daerah-daerah berbatu dengan kondisi tanah yang tipis yang banyak dijumpai pada lahan-lahan kritis di DTA Danau Toba.
Hal ini sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru. Banyak contoh keberhasilan kegiatan rehabilitas lahan seperti reboisasi dan penghijauan dari tahun 60-an hingga awal 80-an yang dapat kita lihat saat ini. Beratus hektar tanaman tusam banyak kita jumpai di sekitar DTA Danau Toba. Tegakan reboisasi dan penghijauan tersebut saat ini telah dipanen kayu dan gondorukemnya.
Dalam logika sederhana, karena wilayah Tapanuli dan sebagian DTA Danau Toba merupakan tempat tumbuh alami (asal) tusam Tapanuli, jenis ini tentu dapat tumbuh baik pada wilayah tersebut sebagaimana halnya tusam Aceh yang digunakan sebagai tanaman Gerhan saat ini. Dengan keuntungan ekologis dan ekonomis serta nilai moral yang dimilikinya sebagai jenis asli setempat maka pengusulan tusam Tapanuli sebagai jenis andalan setempat perlu kita dukung. Gerhan dapat menjadi tonggak kebangkitan tusam Tapanuli ini.
Untuk merealisasikan harapan tersebut dibutuhkan komitmen dari berbagai pihak, mulai dukungan politis dari wakil rakyat dan para pemimpin negara, dukungan teknis dan keuangan dari instansi terkait dan tentu saja animo masyarakat untuk mengembangkannya. Dukungan politis telah dilontarkan oleh Menteri Kehutanan dalam pertemuannya dengan Kepala Dinas Kehutanan se-Sumatera Utara di Tanjungbalai pada pertengahan April 2006 ini. Gayung ini harus kita sambut dengan menyiapkan segala hal berdasarkan tanggung jawab kita masing-masing.

2. Hutan Tanaman dan Hutan Rakyat
Dengan semakin menurunnya kemampuan hutan alam untuk memenuhi kebutuhan kayu, keinginan untuk mengembangkan hutan tanaman tusam perlu ditingkatkan kembali. Saat ini, tiap hari dapat mencapai 10 – 20 truk pengangkut kayu melintasi jalan-jalan lintas dari berbagai tegakan tusam di Tapanuli seperti Dolok Tusam, Batu Manumpak dan Sialogo di Tapanuli Utara menuju Medan untuk diolah. Apabila setiap truk memuat 15 – 20 meter kubik kayu bulat maka setiap hari ditebang 150 – 400 meter kubik atau kurang lebih 100 – 500 pohon ditebang setiap harinya. Suatu permintaan yang cukup tinggi tentunya. Selama ini permintaan tersebut dipenuhi dari izin penebangan hutan produksi dan kayu rakyat. Selain untuk kayu pertukangan, tusam juga dimanfaatkan untuk bahan baku pulp, salah satunya pada industri Kertas Kraft Aceh.
Sesungguhnya ujung tombak pengembangan tusam Tapanuli adalah masyarakat. Mekanisme pembangunan hutan tanaman skala kecil baik secara mandiri ataupun dalam skim HTI PIR dapat segera diinisiasikan. Harapan tersebut tidak akan terwujud tanpa adanya animo masyarakat untuk mengembangkannya. Perlu disiapkan seperangkat kebijakan yang menggugah semangat masyarakat menanam tusam terutama pada tanah milik maupun ulayat (marga). Tentu tidak menguntungkan apabila kebijakan yang ada merumitkan masyarakat menjual kayu yang telah ditanam dan dipeliharanya bertahun-tahun.

3. Strategi Konservasi
Apabila tusam Tapanuli diprioritaskan sebagai tanaman Gerhan maka akan dibutuhkan jutaan bibit tusam Tapanuli untuk merehabilitasi lahan kritis di DTA Danau Toba dan Tapanuli. Dengan ini kita sekurang-kurangnya telah menambah potensi genetik dan memperluas penyebaran tusam Tapanuli.
Selama ini kegiatan konservasi in-situ dilakukan hanya pada kawasan Taman Nasional dan Cagar Alam. Dominannya pertumbuhan tusam Tapanuli di Dolok Tusam dan Batu Manumpak (Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung) di Tapanuli Utara sebaiknya juga dijadikan sebagai kawasan konservasi dengan dasar penunjukan yang lebih jelas. Dikhawatirkan tanpa adanya penunjukan yang lebih tegas sebagai kawasan konservasi (atau areal produksi benih), kegiatan illegal logging dan izin penebangan kayu akan mengurangi populasi tusam Tapanuli pada kedua wilayah tersebut.
Sulitnya ditemui permudaan alam di bawah dan sekitar tegakan tusam pada populasi alaminya dapat disiasati dengan membersihkan areal di sekitar pohon induk dari semak belukar. Hal ini didasarkan pada fenomena banyaknya ditemui anakan pada tempat-tempat terbuka (tanah longsor di Bukit Tapan, kiri kanan dan badan jalan di Dolok Tusam dan Batu Manumpak di Tapanuli Utara).
Rendahnya tingkat perkecambahan benih tusam Tapanuli dan Kerinci yang menjadi faktor pembatas dalam konservasi eks-situ dan budidayanya harus dikaji kembali. Hasil kerjasama Balai Litbang Kehutanan Sumatera dengan salah satu perusahaan pembibitan di Tapanuli memperoleh persen perkecambahan benih sebesar 60 – 70% dari buah (runjung) yang dikumpulkan pada bulan April – Mei 2006 dari hutan Dolok Tusam dan Batu Manumpak. Di kedua wilayah tersebut juga banyak ditemui anakan alami pada bulan Maret - Mei yang tumbuh di kiri kanan dan badan jalan yang juga dapat dijadikan sebagai sumber bahan tanaman. Biji yang dikumpulkan dari kedua lokasi tersebut saat ini juga telah dikirimkan ke Balai-balai dan Pusat Litbang Kehutanan atas inisiatif penulis untuk diteliti dan dikembangkan.

4. Strategi Litbang
Apabila tusam Tapanuli diprioritas sebagai tanaman Gerhan di Sumatera Utara, langkah pertama yang harus segera dilakukan adalah menyiapkan sumber benihnya. Dalam waktu singkat tentu kita tidak berharap banyak dapat menghasilkan bibit yang bermutu tinggi. Pada tahap awal adanya jaminan bahwa bibit yang ditanam tersebut merupakan tusam Tapanuli yang diperoleh dari suatu tegakan yang telah teridentifikasi merupakan suatu kemajuan. Sejalan dengan waktu, tegakan tersebut diseleksi menyisakan pohon-pohon yang memiliki kualitas yang lebih baik dan dilakukan pemuliaan dengan pengkayaan dapat menjadi sumber benih. Peran swasta sangat dibutuhkan dalam hal ini. Kerjasama antara instansi litbang (Balai Litbang Kehutanan Sumatera) dengan perusahaan persemaian bibit telah ditempuh untuk membangun tegakan sumber benih tusam Tapanuli di Siborong-borong Tapanuli Utara.
Dalam jangka panjang perlu segera disusun rencana penelitian dan pengembangan tusam Tapanuli dan Kerinci. Rencana tersebut dapat mengacu pada litbang tusam Aceh yang saat ini telah maju. Kegiatan penelitian dapat dimulai dengan survey dan eksplorasi untuk pengumpulan materi genetik untuk pembangunan kebun konservasi ex-situ dan pengujian teknik propagasi. Pengamatan fenologi dan determinasi genetik diperlukan untuk mengetahui potensi genetik ketiga strain tusam tersebut. Ditemuinya keragaman tebal kulit dan respon tempat tumbuh yang berbeda terhadap morfologi batang, kualitas kayu dan getah sesungguhnya merupakan potensi genetik yang harus diketahui. Adanya perbedaan kondisi tajuk tegakan, pola tumbuh dari ketiga strain ini memunculkan hipotesis tentang berbedanya pengaruh hutan ketiga tipe tegakan tersebut.

Untuk mengetahui peluang pengembangannya sebagai kayu pertukangan perlu dilakukan pengujian sifat dasar kayu, produktivitas getah dan pengujian berbagai teknik silvikultur intensif untuk meningkatkan produktivitasnya serta membangun kebun benih semai dan uji keturunan untuk menghasilkan benih yang berkualitas.
Walaupun sesungguhnya pengembangan tusam in telah lama dirintis, lemahnya aspek-aspek legalitas mengakibatkan pengusahaan hutan tanaman industri dan hutan rakyat tusam menghadapai berbagai kendala. Kajian terhadap berbagai perangkat kebijakan serta aspek sosial ekonomi sangat perlu dilakukan terutama untuk menghasilkan kebijakan yang mendorong pengembangannya.


E. KESIMPULAN
Kurangnya dukungan litbang akibat berbagai faktor pembatas merupakan salah satu penyebab kurangnya pengembangan dan konservasi tusam Tapanuli dan Kerinci. Oleh karena itu perlu dilakukan litbang tusam (pengamatan fenologi dan ekologi, sifat dasar kayu, pengaruh hutan, silvikultur, sosek) dalam rangka pemanfaatan kedua galur tersebut minimal aplikasi budidayanya untuk daerah di sekitar asal populasi alaminya (Kerinci dan Tapanuli). Fenomena pertumbuhan permudaan tusam Tapanuli dan Kerinci pada tempat-tempat terbuka pada populasi alaminya dapat dijadikan sebagai strategi konservasi in-situ terutama untuk mendorong pertumbuhan permudaan alam pada populasi alaminya.

F. SARAN
Disarankan agar Dinas Kehutanan aktif untuk melestarikan menjaga kemurnian hutan alam tusam Tapanuli dan Kerinci melalui penebangan tusam hasil kegiatan reboisasi dan penghijauan yang menggunakan tusam Aceh. Areal tersebut selanjutnya diganti dengan tusam strain Tapanuli dan Kerinci.

F. Daftar Pustaka

Cooling, E.N.G. and H. Gaussen 1970. In Indochina Pinus merkusiana sp. nov. et non P. merkusii Jungh. et De Vriese. Trav. Lab. Forest. Toulouse T. 1 V. 8 Art. 7
Harahap R.M.S. 2000. Status Hutan Alam Pinus merkusii di Sumatera Utara saat ini. dalam E.B. Hardiyanto (ed) Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999: Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fahutan UGM Yogyakarta. p 54-57
_______2000 a. Kragaman Sifat dan Data Ekologi Populasi Alam Pinus merkusii di Aceh, Taspanuli dan Kerinci. dalam E.B. Hardiyanto (ed) Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999: Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fahutan UGM Yogyakarta. p 216-227
_______2000 b. Uji Asal Benih Pinus merkusii di Sumatera Utara. dalam E.B. Hardiyanto (ed) Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999: Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fahutan UGM Yogyakarta. p 228-232
_______1989. Variasi Komposisi Monoterpene Pinus merkusii di Sumatera. Bull. Pen. Kehutanan Pematangsiantar 4(4): 79- 86
Hendrati, R.L., P. Tambunan, dan A. Sofyan 1997. Penyerbukan terkendali pada tanaman Pinus merkusii. Wana Benih I (3): 11-22
Kalima, T, U. Sutisna dan R.M.S Harahap 2005. Studi Sebaran Alam Pinus merkusii Jung et de Vries Tapanuli, Sumatera Utara dengan Metode Cluster dan Pemetaan Digital. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Bogor II (5): 497-505
Keiding, H. 1970.
Report on a Journey to Sumatra, Thailand and India for the Danish/FAO Forest Tree Seed Centre. FAO Document Corporate Repository.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, 2005. Data Base Jenis-jenis Prioritas untuk Konservasi Genetik dan Pemuliaan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Suhardi, Sosef, M.S.M., Laming, P.B. & Ilic, J., 1994. Pinus L. In Lemmens, R.H.M.J. & Soerianegara, I. (Eds.): Plant Resources of South-East Asia No 5(1). Timber trees: Major commercial timbers. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia. pp 349-357.
Wibowo A, 2005. Kerawanan Kawasan Hutan dan Dampak Kebakaran Terhadap Tegakan Pinus merkusii Jung et de Vries. Di KPH Sumedang, Jawa Barat Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Bogor II(1):1-9
Yafid B. dan Y.S. Jafarsidik 2005. Permudaan Pinus merkusii Jungh et de Vries Galur Kerinci, Potensi, dan Komposisi Tegakan di Kawasan Hutan Bukit Tapan, Taman Nasional Kerinci Seblat. Info Hutan II (2): 145-152
* Staf Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera di Pematangsiantar